Alumni Sharing Session Prodi Kajian Budaya FIB Unud Bahas Realitas Media Menurut Post-Truth

`

Program Alumni Sharing Session (ASSIST) ke-4 Prodi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud membahas wacana kebenaran dalam media massa dalam topik “Realitas Media Menurut Post-Truth”. 


Acara berlangsung secara daring, Selasa, 31 Mei 2022, dan rekamannya bisa diakses di Youtube

Acara yang berlangsung dua jam itu menampilkan dua narasumber, yaitu Dr. S. Fahmy Dalimunthe, M.I.Kom., dosen Universitas Negeri Medan dan Dr. I Nyoman Suaka, M.Si., dosen IKIP Saraswati Tabanan. 


Keduanya adalah alumni Prodi Doktor Kajian Budaya. Acara dipandu oleh Putri Ekaresty Haes, mahasiswa S3 Kajian Budaya FIB Unud.



Moderator Putri Ekaresty Haes


Kajian Kritis


Dalam kata pengantarnya, Koordinator Prodi Doktor Kajian Budaya, Prof. I Nyoman Darma Putra, Ph.D., menyampaikan post-truth (pasca-kebenaran) merupakan konsep berfikir kritis dengan dalil bahwa kebenaran bukan sesuatu yang tunggal. 


“Di balik kebenaran, ada kebenaran lain. Atau, selalu ada kebenaran lain atas kebenaran yang sudah berterima,” ujar Darma Putra.


Pemberitaan media massa sering dianggap sebagai sumber kebenaran terutama media-media terkemuka yang established. Padahal, menurut Darma, tulisan informatif di media disampaikan dalam konteks tertentu dan tidak terlepas dari proses framing berdasarkan kebijakan redaksional, ideologi media, atau situasi sosial budaya dan politik yang merupakan ekosistem media tersebut kala itu.




Media, menurut Darma Putra, tak hanya surat kabar, radio, dan televisi. Tapi, segala sesuatu yang menjadi sarana untuk menyampaikan gagasan atau mengklaim kebenaran. Beda media, beda asas kebenaran; beda subjek yang menggunakan akan berbeda pula frame kebenaran yang disampaikan; dan beda audiens akan berbeda pula pemaknaannya.


“Klaim atas klaim akan kebenaran merupakan keniscayaan,” ujar Prof. Darma.


Darma Putra menyarankan peserta aktif berdialog dalam diskusi sehingga kebenaran demi kebenaran bisa diungkap. “Di mana tidak ada dialog, di sana kebenaran akan berhenti, keniscayaan post-truth akan terabaikan,” ujarnya.


Relatif, Subjektif, Bias


Dalam presentasinya, Dr. S. Fahmy Dalimunthe, M.I.Kom. menyampaikan bahwa realitas media merupakan realitas yang sangat relatif, subjektif, bahkan bias. Oleh karena itu, menurut Fahmy, perlu sekali publik memahami bagaimana sebetulnya media massa mengemas dan menyajikan berita.


Dr. S. Fahmy Dalimunthe, M.I.Kom.


“Apa yang tampak seperti realitas bisa jadi merupakan opini yang jauh dari realitas objektif,” ujar Fahmy, yang menulis disertasi “Mediatisasi Politik dalam Pemberitaan Kasus Penodaan Agama oleh Ahok di Metro TV dan TV One”. 


Perkembangan media digital, menurut Fahmy, membuat fenomena post-truth semakin meluas. Berbagai pihak, termasuk pemerintah dan politisi serta pendukungnya aktif menyebarkan informasi sesuai kepentingan dan kerap jauh dari realitas objektif.


“Justru, fakta dan realitas objektif mengalami degradasi, untuk kepentingan menyampaikan kebenaran subjektif,” kata Fahmy.


Dalam presentasinya, Fahmy juga menyebutkan merebaknya fenomena penyebaran berita tanpa filter sejalan dengan kemajuan teknologi digital dan apliaksi media sosial. Dia menyebutkan peredaran berita bohong sejenis hoax, hate speech, fake news (berita palsu) lewat media digital yang terjadi tanpa verifikasi. 


“Ini sering berakibat atau berimplikasi pada polarisasi masyarakat, masyarakat terbelah, menjadikan politik identitas yang dapat mengancam keharmonisan sosial,” katanya.


Budaya Pop


Pembicara kedua, Dr. I Nyoman Suaka, M.Si., dalam presentasinya mengungkapkan kajian media dalam hal ini film atau TV merupakan kajian strategis dalam Kajian Budaya. Dia mengawali dengan menegaskan bahwa budaya populer yang beredar lewat TV dan film sejak lama diabaikan, sempat tersisih, tidak laku, dimarginalisasi.



Dr. Nyoman Suaka


“Saat kuliah level S1 saya sudah diwanti-wanti tidak mengkaji budaya pop. Ini tanda bahwa budaya pop termarjinalisasi,” ujar Dr. Suaka, Wakil Rektor bidang akademik di IKIP Saraswati Tabanan, Bali. 


Dia bersyukur setelah menempuh program doktor di Kajian Budaya, terbuka peluang lebar untuk melakukan studi budaya pop. Budaya pop merupakan budaya massal yang luas eksistenisnya di masyarakat oleh karena itu, menurut Suaka, tidak sepantasnya diabaikan.


Suaka sempat menyinggung perhatian dari kalangan perintis Kajian Budaya di Birmingham Inggris yang melakukan banyak penelitian tentang budaya pop. 


“Apa yang dilakukan oleh inteltual di The Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) University of Birmingham tahun 1960-an menyebar ke berbagai negara termasuk di Bali,” ujar Suaka. 


Dalam disertasinya, Dr. Suaka melakukan kajian film untuk disertasi di kajian Budaya. Film atau sinetron yang dikaji adalah kisah legendarasi “Siti Nurbaya”, dengan menggunakan dua materi yaitu sinetron Siti Nurbaya TVRI dan sinetron sama versi Trans TV yang bersifat parodi. Dengan belakang studi sastra, Dr. Suaka, melakukan kajian komprehensif dari karya sastra novel ke sinetron dan film-TV.


Pengaruh budaya pop sangat keras, oleh karena itu, menurut Suaka perlu sekali dibangun literasi media yang kritis sehingga masyarakat bisa menyaring dampak negatif budaya pop. 


“Ini salah satu tugas Kajian budaya untuk menawarkan penafsiran kritis atas apa yang muncul dalam fenomena pop culture,” ujarnya.




Dari hasil penelitiannya terhadap budaya pop berasis sastra, Suakan menerbitkan buku Sastra Sinetron dalam Ideologi Budaya Populer (Penerbit Udayana University Press, tahun 2013). Beberapa buku lain terkait juga dihasilkan, tanda produktivitas Kajian budaya dalam mengeksplorasi budaya pop.


Acara ASSIST ke-4 berjalan lancar, diwarnai diskusi hangat seputar kajain media dan kajian film. Peserta terutama para mahasiswa mendapat banyak inspirasi mengenai hal-hal yang menarik dilakukan dalam riset dan penulisan disertasi dengan pendekatan Kajian Budaya (dap).