Kabar Alumni, Dr. Ni Made Ras Amanda G.: Kajian Budaya selalu Menggelitik akan Antikemapanan

`

Dr. Ni Made Ras Amanda G.

Angkatan 2008; Afiliasi FISIP Universitas Udayana

Disertasi: Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010


Enam tahun saya mempelajari ilmu sosial dan ilmu politik khususnya bidang ilmu komunikasi di jenjang sarjana dan magister telah membawa saya melihat dan memandang bahwa demokrasi adalah sistem yang dapat mensejahterakan masyarakat. Demokrasi adalah jawaban atas perkembangan masyarakat modern sehingga prinsip-prinsip dasar bernegara terpenuhi.


Saya menjadi cukup naif dengan mempercayai dan berpandangan positif terhadap sistem yang bernama negara demokrasi. Trias politika, yang terdiri dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif adalah elemen dari negara yang menjamin pemerintahan berbasis suara rakyat.


Sebagai pengkaji ilmu komunikasi, saya mempelajari bahwa media massa adalah pilar ke empat dari demokrasi.


Selama kurang lebih delapan tahun saya menjadi wartawan, saya bekerja dengan pemahaman bahwa saya berperan dalam membangun demokrasi negara Indonesia. Saya percaya bahwa media berfungsi sebagai watch dog di mana ia mengawasi sistem trias politica.


Namun, harapan dan teori ini hancur begitu saya mempelajari bahwa ke empat pilar demokrasi baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta media kadang saling berkelindan untuk memenuhi kepentingan mereka yang berada di baliknya. Untuk kepentingan mereka yang sesaat bukan untuk rakyat apalagi sebuah negara bernama Indonesia.


Luasnya Arti Budaya


Di Kajian Budaya, saya mempelajari bahwa budaya memiliki arti yang sangat luas termasuk di dalamnya budaya demokrasi. Budaya demokrasi ini mungkin menjadi Kajian Budaya yang berbeda dengan Kajian Budaya yang diangkat oleh teman teman saya dalam disertasinya.



Dilantik sebagai WD 1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


Budaya demokrasi yang saya bongkar adalah bagaimana elemen-elemen lain lebih banyak berpengaruh terhadap nilai dari demokrasi. Ironinya eleman ekonomi dan politik lebih banyak menghiasi kepentingan-kepentingan para pilar demokrasi.


Kajian Budaya mengajarkan saya melihat demokrasi dari sisi yang berbeda, dari sisi mereka yang dirugikan, mereka yang tidak didengarkan, dan mereka yang hilang dalam sistem yang selalu dielu-elukan ini. Bahkan, terdapat media yang diharapkan menjadi penyeimbang secara umum telah menodai fitrahnya sebagai pilar keempat demokrasi.


Kajian Budaya telah membukakan mata serta hati saya di mana sepatutnya ilmu itu berada. Ilmu bukan untuk prestise, ilmu bukan untuk jabatan, tapi ilmu ada untuk meningkatkan harkat martabat mereka yang bernama manusia.


Untuk itu saya memutuskan untuk menjadi pengayom ilmu, yang menjaga ilmu untuk kepentingan masyarakat.


Iya, saya memutuskan untuk menjadi pendidik, namun saya tidak bercita-cita menjadi pendidik di menara gading. Saya selalu berusaha agar ilmu dapat dirasakan dan berguna untuk masyarakat.  


Saya selalu berusaha berbagi di mana pun dan berusaha menulis untuk dapat meneruskan harapan dan membuka pandangan yang lebih luas akan sesuatu.


Berbagi lewat webinar.


Dalam ilmu yang saya pelajari yakni komunikasi, media internet khususnya media sosial kemudian dianggap sebagai pilar kelima dalam demokrasi. Media sosial yang sifatnya lebih dapat diakses oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun menempatkan mereka para netizen di posisi yang sama.


Tidak ada lagi superior-inferior, semua sama di dalam Internet. Bahkan, semua dapat bersuara.


Menggelitik Anti dari Kemapanan


Kehadiran Internet ternyata melahirkan euforia bahwa inilah media di mana rakyat dapat bersuara tanpa memandang bulu. Ya, termasuk saya pada awalnya.


Namun, tempaan ilmu Kajian Budaya selalu menggelitik saya akan anti dari kemapanan, bahwa internet tidak sepenuhnya seperti itu.


Dalam perkembangannya, media sosial yang dianggap sebagai ruang publik baru yang lebih demokratis, ternyata juga menyimpan ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Ruang publik digital ini ternyata terhegemoni oleh kekuatan kekuatan yang lebih besar baik di tingkat nasional bahkan permainan elit global.


Ironinya mayoritas masyarakat tidak menyadari ancaman ini, mereka menilai baik dan tetap bergembira dengan kehadiran media sosial ini. Dengan sadar mereka memposting data pribadinya, membuka perdebatan tanpa akhir hingga memutuskan tanpa sadar dengan siapa dan bagaimana memandang sesuatu.


Padahal, netizen atau warganet di-”atur” oleh algoritma Internet untuk melihat, membaca, mendengar apa yang internet inginkan.


Saya sebagai pendidik kemudian memiliki tanggung jawab untuk menyadarkan masyarakat akan sisi lain dari Internet ini.


Sebagai orang yang menekuni bidang ilmu Kajian Budaya, saya memiliki tanggungjawab agar ruang publik digital ini tetap sehat dan berperan sebagai pilar kelima demokrasi, harapan akhir dari masyarakat akan martabat kehidupan atau kehidupan yang bermartabat.***