Webinar HUT Ke-21 Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud: Kajian Kerentanan dan Ketangguhan Jadi Ruang Baru Kajian Budaya

`

Berbagai krisis belakangan menimpa kehidupan umat manusia, seperti revolusi teknologi, perubahan iklim, menurunnya kepercayaan atas kemampuan kapitalisme sebagai satu-satunya sistem global, serta munculnya ancaman baru dari dunia nonmanusia seperti pandemi virus-virus baru yang bisa menyebabkan kepunahan manusia.


Narasumber Prof. Manneke Budiman


Krisis itu berdampak pada masa depan yang menjelma ketidakpastian karena tak dapat dikendalikan atau direncanakan lagi. Manusia pun mengalami perasaan rentan (vurnerable) karena bentuk tantangan yang dihadapi tidak mampu dikendalikan dengan segala kemajuan yang ada saat ini.

“Kesadaran yang tiba-tiba bahwa ternyata kita itu rentan memberi peluang bagi kajian budaya untuk melangkah maju ke wilayah yang sebelumnya belum kita petakan dengan baik, belum kita bayangkan dan belum kita kenali serta pikirkan, yaitu kajian kerentanan. Bagaimana manusia merasa dirinya rentan, apa saja penyebabnya. Ini bisa menjadi area baru ke masa depan bagi Kajian Budaya,” beber guru besar ilmu susastra Universitas Indonesia (UI), Prof. Manneke Budiman, S.S., M.A., Ph.D., saat tampil sebagai pembicara dalam webinar bertajuk “Masa Depan Kajian Budaya di Indonesia” yang digelar Prodi S3 Kajian Budaya, FIB, Unud, Senin, 11 Juli 2022.



Moderator Dr. Tjok Ratna Cora.


Webinar digelar serangkaian peringatan 21 tahun Prodi S3 Kajian Budaya. Webinar diikuti lebih dari 90 peserta terdiri atas dosen, mahasiswa, alumni, dan peserta umum, baik secara langsung lewat aplikasi webex maupun lewat Youtube LINK Webinar dipandu moderator Dr. Tjok Istri Ratna Cora.





Menurut Prof. Manneke, pada saat yang sama juga ada peluang untuk melakukan eksplorasi terhadap apa yang mampu dilakukan manusia untuk bertahan dari ancaman-ancaman baru tersebut sekaligus membuat dirinya lebih siap, lebih baik, dan lebih tangguh dalam menghadapi bentuk-bentuk ancaman-ancaman baru ke depan.

Dia menyebut hal itu sebagai resilience studies (kajian ketangguhan). Tapi, imbuh Manneke, resiliensi dipahami lebih aktif, bukan pasif. Resiliensi bukan sekadar ketahanan, tapi ketangguhan yaitu tak hanya bertahan tapi juga menciptakan kemampuan-kemampuan baru untuk membuat diri lebih hebat dari sebelum bencana besar terjadi.

“Jadi, ada dua area kajian baru yang bisa dikombinasikan jika mau. Kajian kerentanan di satu pihak dan kajian ketangguhan di pihak lain. Ini semua tidak berarti kita meninggalkan tujuan resistensi terhadap hegemoni atau ketimpangan relasi kuasa yang menjadi ciri kajian budaya. Walaupun ancaman-ancaman baru ini bermunculan, praktik-praktik relasi kuasa yang timpang dan hegemonik masih terus berlanjut dan akan terus berlanjut,” kata Prof. Manneke yang dikenal sebagai salah seorang akademisi yang banyak melakukan penelitian dengan pendekatan kajian budaya.

Membuat Kajian Budaya Menjadi Muda Kembali

Bahkan, menurut Prof. Menneke, bencana atau krisis yang terjadi saat ini memberi keutungan dan manfaat bagi sebagian orang untuk mengukuhkan hegemoninya secara lebih solid untuk kemudian seolah-olah menjustifikasi ketimpangan relasi kuasa yang ada. Oleh sebab itu, kajian budaya masih harus tetap kritis dan aktif melawan hegemoni dan ketimpangan relasi kuasa tetapi juga mesti melengkapi diri dengan senjata, perisai, dan baju zirah yang baru.





Pasalnya, ada lawan baru yang jauh lebih kuat dan lebih menakutkan yang mengancam kehidupan seluruh spesies manusia.

“Problematika kerentanan manusia tidak dilihat sebagai masalah yang mengancam kajian budaya tetapi justru ini merupakan peluang untuk membuat kajian budaya menjadi muda kembali. Tapi, kita memang perlu memperlengkapi diri dengan alat-alat teoretis dan metodologis yang lebih baik, yang lebih mampu berbicara tentang ancaman-ancaman bentuk baru dengan skala global. Sikap kritis serta kepekaan diperlukan untuk membaca dan melakukan kalkulasi-kalkulasi mengantisipasi masa depan yang tidak pasti,” jelas Prof. Manneke.

Kajian budaya, khususnya di Indonesia, jika mau mengatasi kerentanan dirinya dan membangun ketangguhan yang lebih baik, tidak lagi bisa terus-menerus berada dalam tataran kajian-kajian lokal yang spesifik.

Tantangan masa depan kini semuanya dalam skala global. Karena itu dibutuhkan kolaborasi antarlokal yang berbeda, antarkomunitas dan aliasi-aliansi dengan kelomok-kelompok di luar akademik, seperti aktivis sosial, non-governmental organization (NGO) dan lainnya sebagai bagian terintegrasi dalam kajian budaya supaya para praktisi kajian budaya mampu melangkah setengah langkah lebih maju.





Kajian pada tataran lokal, menurutnya, tidak lagi memadai jika hanya dilakukan sebatas dirinya sendiri. Dibutuhkan kolaborasi dan aliasi supaya tidak terlindas dan punah.

“Persilangan global-lokal masih akan relevan, masih bisa dipakai kerangka pikir atau kerangka kerja yang bisa membantu kita untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk tantangan global ke depan akan seperti apa. Fokus pada kajian pelestarian budaya lokal perlu bergeser pada upaya menemukan ketangguhan baru yang berasal dari transformasi berbasis konservasi atas apa yang telah dimiliki,” ujar Prof. Manneke.

Kajian Budaya sebagai Pendekatan

Apakah dengan demikian kajian budaya perlu didefinisikan kembali? Menurut Prof. Manneke, kajian budaya tetap harus dimaknai sebagai sebagai metode, cara untuk bertanya, cara untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan itu secara kritis dan bukan sebagai disiplin tersendiri. Kajian budaya mesti dipahami sebagai metode untuk menggali dan membangun sintesis-sintesis yang masih kritis supaya bisa mengeluarkan berbagai potensi yang laten, berbagai kemungkinan yang belum terbaca di dalam komunitas-komunitas yang berbeda. Dengan begitu, kajian budaya bisa membantu komunitas-komunitas itu membangun ketangguhannya yang akan punya peran instrumental dalam mempertahankan keberlangsungan hidup komunitas itu di masa depan.

Sebelumnya, Prof. Manneke juga menegaskan pandangannya mengenai kajian budaya bukan sebagai suatu ilmu tersendiri yang memiliki tempat sejajar dengan ilmu-ilmu yang sudah ada seperti linguistik, sejarah, arkelologi, filsafat, antropologi, sosiologi. Menurutnya, kajian budaya tidak mengklaim untuk menjadi sebagai suatu disiplin tersendiri.

“Di UI kami mencoba memahami kajian budaya sebagai suatu pendekatan, suatu metode atau cara mengerjakan sesuatu yang bisa dipakai di berbagai disiplin ilmu jika dikehendaki. Ilmu susastra bisa memakainya, linguistik bisa menggunakannya, antropologi, sosiolgi, ilmu sejarah bahkan arsitektur dan seni. Sudah ada banyak orang menggunakan kajian budaya sebagai cara untuk mengkaji. Dengan begitu semoga kita bisa mengikis kesalahpahaman di kalangan ilmuwan tentang status atau posisi kajian budaya di antara bidang-bidang ilmu yang lain,” tandasnya.

Refleksi Masa Depan Kajian Budaya

Koordinator Prodi S3 Kajian Budaya, FIB Unud, Prof. Drs. I Nyoman Darma Putra,  M.Litt., Ph.D., menjelaskan Prodi S3 Kajian Budaya Unud merupakan Prodi Doktor Kajian Budaya yang pertama di Indonesia.



Koprodi Doktor Kajian Budaya, Prof. I Nyoman Darma Putra.

Pendirinya, Prof. IGN Bagus yang merupakan alumni UI merintis S2 Kajian Budaya kemudian S3 Kajian Budaya yang diteruskan hingga kini. Sudah 21 tahun Prodi S3 Kajian Budaya berdiri dan merupakan waktu yang cukup lama untuk melakukan reflksi ke mana arah kajian budaya ke depan.

“Selama ini kami dengar suara-suara teman-teman dari alumni kami yang sudah sukses atau masih mencoba meraih sukses, banyak kegalauan-kegalauan yang dihadapi. Yang terakhir dan banyak terjadi adalah linieritas. Lulusan Kajian Budaya mau menjadi guru besar, latar belakang pendidikannya tidak linier dan mereka menghadapi masalah. Kami juga sedang selalu memperbaiki agar hal-hal seperti itu tidak terjadi, dengan memastikan subjek kajiannya sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu mahasiswa,” kata Prof. Darma Putra.

Selain itu, karena sifat kritis kajian budaya, kadang-kadang kalau disampaikan secara  kurang tepat, bisa menghasilkan serangan balik, dianggap lebih banyak mempersoalkan situasi daripada memberikan solusi. Itu sebabnya, dalam peringatan ulang tahun Prodi S3 Kajian Budaya yang pertama kali ini diambil tema “kritis berlapis” sebagai salah satu ciri kajian budaya.

Menurut Prof. Darma Putra, kajian budaya mestilah mencoba mempertanyakan apa yang sudah diterima oleh umum tanpa berkeinginan memporakporandakan tatanan, tetapi memberikan sudut pandang baru yang barangkali lebih diperlukan untuk melangkah ke depan.

“Itu kiranya spirit kajian budaya ketika pertama kali muncul di Eropa tahun 1960-an ketika apa yang disebut tragedi dramatis epistemologis pada dua teori utama, yaitu formalis strukturalisme dan formalis semiotik yang kemudian menimbulkan postrukturalis untuk melihat hal lama dengan cara baru dan hal baru dengan cara baru juga,” tandas guru besar bidang ilmu sastra FIB Unud ini.



Wakil Dekan I FIB Unud,  I Nyoman Aryawibawa,Ph.D.

Wakil Dekan I FIB Unud, I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.Hum., Ph.D., yang membuka webinar mewakili Dekan FIB menyambut baik webinar bertajuk “Masa Depan Kajian Budaya di Indonesia”.

Menurutnya, webinar ini kontekstual dengan tantangan yang dihadapi kajian budaya saat ini.

Aryawibawa berpandangan kebudayaan sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan sesuatu konsep yang diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebudayaan adalah sesuatu yang kontekstual dan situasional. Dalam konteks kebudayaan sebagai sesuatu yang kontekstual dan situasional, ada peluang-pelaung untuk menata arah kajian budaya dari sisi keilmuan.

“Dalam proses itu tentu akan ada konstruksi, dekonstruksi atau reproduksi. Tentu dari sisi keilmuan ini menjadi tantangan tersendiri dan kesempatan bagi studi kajian budaya dalam mengembangkan lembaga dan keilmuannya,” tandasnya. (Suj/dp)