Dosen University of New England Australia Berikan Kuliah Tamu Analisis Wacana Kritis di Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud
Dosen University of New England, Armidale, NSW, Australia, memberikan kuliah tamu untuk mahasiswa dan dosen Prodi Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Jumat, 7 Juli 2023, secara daring.
Dr. Jane Ahlstrand memberikan kuliah tamu dengan judul “A critical discourse analysis: Kartini, as a floating signifier in the Jokowi era” selama 1,5 jam. Kuliah umum dibuka oleh Korprodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud, Proof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., dipandu oleh mahasiswa S3 Kajian Budaya I Gusti Ayu Andani Pertiwi.
Moderator IGA Andani Pertiwi
Kuliah tamu yang terbuka untuk umum itu diikuti lebih dari 50 orang itu dilaksanakan dalam rangka HUT ke-22 Prodi Doktor Kajian Budaya yang jatuh 11 Juli 2023. Rekaman kuliah daring ini bisa disimak di kanal Youtube (klick di sini), saat berita ini diturunkan sudah disimak oleh 110 kali.
Dalam presentasinya, Dr. Jane Ahlstrand yang sehari-hari sebagai dosen Indonesia di School of Humanities, Arts and Social Sciences University of New England Australia itu menyampaikan bahwa di Indonesia dan dunia, perempuan bisa menjadi ikon publik, sumber penegasan ideologi dan perdebatan.
“Berbeda dengan norma politik maskulin, perilaku melanggar norma meningkatkan visibilitas mereka dan menarik kontestasi ideologis. Beberapa menjadi ikon abadi, selama beberapa dekade dan abad melalui proses representasi ulang,” ujar Dr. Jane Ahlstrand, akademisi yang pandai dan menguasai 12 tarian Bali.
“Floating Signifier”
Dr. Jane Ahlstrand menyampaikan bahwa konsep ‘floating signifier’ atau ‘penanda mengambang’ ibarat ‘kapal makna’, citra tunduk pada penetrasi politik oleh kelompok yang berbeda di konteks yang berbeda. Misalnya, Frida Kahlo, Winnie Mandela, Kartini masing-masing diberikan makna berbeda dari waktu ke waktu.
Jane Ahlstrand menegaskan bahwa penanda mengambang juga merupakan tanda yang terbuka untuk ditafsirkan oleh kelompok berbeda atau pendukung ideologi berbeda.
Materi kuliah tamu Dr. Jane Ahlstrand berdasarkan hasil risetnya dari berita media massa online di Indonesia yaitu Kompas.com dan Detik.com tahun 2019/2020-2022, era Presiden Jokowi. Dari media tersebut dikumpulkan sebanyak 200 artikel yang mengungkapkan sosok Kartini.
Era Presiden Jokowi ditandai setidaknya tiga ciri utama. Pertama, populis, nasionalis. Membawa harapan reformasi demokrasi, toleransi. Kedua, perhatian utama dengan pembangunan ekonomi, teknokrat, neoliberalisme, nasionalisme, akomodasi Islam, taktik otoriter untuk mengamankan kekuasaan. Ketiga, Pandemi COVID-19 menonjolkan gaya kepemimpinan neoliberal, survival of the fittest (bertahannya yang kuat).
Dari data yang dianalisis dalam konteks era Presiden Jokowi, Dr. Jane Ahlstrand menyimpulkan beberapa poin, seperti penamaan bahwa Kartini adalah sosok istimewa atau pengecualian yang berani tampil menantang norma di zamannya. Oleh karena itu, Kartini dinilai sebagai panutan bagi wanita saat ini.
Kartini juga dimaknai dengan ide bahwa perempuan bertanggung jawab atas perbaikan dirinya sendiri, dan mulai dari posisi subordinat.
Dr. Luh Riniti Rahayu
Dalam diskusi, Jane mendapat banyak pertanyaan dari peserta, seperti Dr. Luh Riniti Rahayu (alumni Kajian Budaya dan pegiat perempuan di LSM Bali Sruti) menanyakan kekuatan dan kelemahan dalam sosok Kartini, dan dari seorang peserta, Laksmi Mutiara Prameswari, bertanya bagaimana perspektif terkait Kartini sebagai seorang feminis jika dikontekstualisasikan untuk perempuan Indonesia masa sekarang? Karena di Indonesia, jika kita bicara soal feminis, seolah-olah itu hal yang menyeramkan. Padahal Kartini sendiri pun saat masa itu punya pemikiran yang cukup radikal/revolusioner dan di tengah keterbatasan, beliau melakukan perjuangan dengan ‘halus’ melalui surat-surat serta mengajar perempuan yang buta huruf.
“Apa jangan-jangan saat ini, perjuangan perempuan hanya sebatas self-help, menolong diri sendiri?” tanya Laksmi.
Atas berbagai pertanyaan, Jane Ahlstrand menyampaikan bahwa Kartini menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya dan dia mampu menggunakan posisinya untuk memperjuangkan emansipasi, misalnya dalam bidang pendidikan, menjalin hubungan dengan orang Belanda seperti terwariskan lewat surat-menyuratnya.
Korprodi Doktor Kajian Budaya, Prof. I Nyoman Darma Putra menyampaikan apresiasi kepada Dr. Jane Ahlstrand dan para peserta yang berbagai dari kota atas kuliahnya yang sangat menarik dan tanya jawab yang kritis.
“Semoga lain waktu, bisa bertemu dalam acara serupa, karena masih banyak tnda mengambang atau floating signifier yang bisa dibahas dengan analisis wacana kritis,” ujarnya.
Prof. Darma menyampaikan rasa gembira karena kuliah ini mendapat sambutan yang sangat bak dari peserta, seperti tergambar dalam survei berikut, data diolah oleh mahasiswa Wayan Nuriarta (dp).
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA