Kabar Alumni, Dr. Hardiman, M.Si.: Kajian Budaya dan Kritik Seni yang Tak Pernah Ditolak Media Massa
Dr. Drs. Hardiman, M.Si.
Angkatan : Tahun 2009
Afiliasi : Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Disertasi : Tubuh sebagai Ekspresi Perlawanan: Representasi Ideologi Seksual Perempuan Perupa Kontemporer Bali
Sebelum kuliah di program S2 Kajian Budaya Unud, saya sering menulis kritik seni di media lokal Bali dan Bandung. Sudut pandang saya dalam tulisan-tulisan itu selalu formalisme seni yang melihat karya seni sebagai hal yang otonom, berdiri sendiri, seni untuk seni.
Cara pandang ini tentu dipengaruhi oleh latar pendidikan S1 saya dari jurusan Pendidikan Seni Rupa juga dipengaruhi oleh lingkungan seni rupa Bandung, tempat saya diperkenalkan pada seni yang formalis itu.
Setelah sekian tahun tahun saya bekerja dan bermukim di Bali, saya kenal beberapa mahasiswa S2 dan S3 Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Unud. Saya meminjam beberapa buku mereka dan (maaf) meng-copy-nya. Saya tertarik membaca buku Hiper-Realitas Kebudayaan karya Yasraf Amir Piliang, 1999.
Berfoto bersama Pande Suteja Neka (dua dari kiri) usai promosi doktor.
Saya menyukai pembahasan perihal post-modernisme, semiotika, dan kode bahasa estetik. Setelah itu saya mencoba mengaplikasikan pengetahuan perihal itu ke dalam tulisan kuratorial pameran seni rupa.
Saat itu saya bekerja sebagai kurator independen untuk sejumlah galeri seni rupa di Bali, Jakarta, Jogya, dan Surabaya. Buku yang tebalnya kurang dari 300 halaman itu sangat membantu saya dalam proses analisis karya seni rupa.
Ada sudut pandang yang sangat berbeda dibandingkan sudut pandang formalisme seni. Saya sangat diuntungkan dengan bacaan post-modernisme itu. Setelah itu, saya seperti mabuk membaca dan terus membaca sejumlah buku tentang post-modern, semiotika, ideologi, feminisme dan berbagai teori kajian budaya lainnya.
Setelah itu tulisan tulisan saya dalam kuratorial seni selalu dengan teori-teori kajian budaya.
Setelah saya kuliah di program S2 Kajian Budaya , terbukalah informasi perihal post-modernisme, teori-teori post-strukturalisme, teori-teori kritis, dan teori kajian budaya lainnya.
Bersalaman dengan promotor Prof I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ph.D. usai ujian terbuka promosi doktor.
Ini sangat menarik bagi saya yang latar pendidikan S1-nya pendidikan seni rupa yang hanya mempelajari teori pendidikan seni dan teori formalisme seni saja.
Suatu hari saya ingin tulisan saya bisa dimuat di media nasional yang berpengaruh seperti Kompas dan Gatra. Saya mencari informasi tentang kriteria tulisan yang bisa diterima editor media nasional itu.
Dalam satu kesempatan, saya betemu dengan editor Kompas dan saya tanyakan perihal kriteria itu. Ia bilang bahwa tulisan yang bisa dimuat di Kompas harus lebih baik dari tulisan para editornya. Hk!.
Saya kaget, bagaimana bisa. Mereka yang menentukan tulisan dari luar itu lebih baik atau lebih buruk dari tulisan mereka. Bisa subjektif. Tapi, dipikir-pikir, mereka benar juga. Sebab, kalau tulisan dari luar itu buruk, untuk apa dimuat. Hanya merusak isi koran saja.
Saya mulai ragu untuk menulis di media nasional itu. Ragu atas kemampuan saya, juga ragu pada penilaian para editor. Lama berpikir, pada akhirnya saya kirimkan juga satu artikel kritik seni.
Ditelepon Editor Kompas
Beberapa hari setelah kirim artikel itu, saya ditelepon editor Kompas. Ia menanyakan siapa saya; Kemana saja kok tak pernah nulis di media; dan, memuji tulisan saya sambil menginformasikan bahwa tulisan saya akan dimuat/diturunkan pada Kompas minggu beberapa hari lagi.
Tentu saja telepon itu membuat saya gembira. Tulisan saya itu adalah resensi pameran seni rupa. Tulisan yang berjudul “Erotika dan Ideologi Patriarki” itu membahas pameran erotika karya beberapa belas seniman Indonesia di sebuah galeri di Ubud.
Sudut pandang tulisan saya tentang ideologi patriarki yang merugikan kaum perempuan. Pasti, ini perspektif kajian budaya.
Sejak itu dalam tiap bulan, minimal saya kirimkan dua tulisan dan selalu dimuat. Astungkara. Alhamdulillah, sudut pandang kajian budaya selalu saya pakai dalam tulisan-tulisan saya, oleh banyak kalangan di lingkungan seni rupa Indonesia mendapat respon positif. Tulisan saya dipandang berbeda dengan tulisan dari kritikus lain.
Sejak itu, saya dinilai oleh medan sosial seni Indonesia sebagai kritikus seni. Saya diundang bicara di Galeri Nasional Indonesia Jakarta sebagai kritikus seni rupa, diundang bicara di Solo, Bandung, dan beberapa tempat lain.
Dalam sebuah pameran lukisan.
Suatu hari saya mengirimkan sebuah resensi sepanjang 2.400 kata ke Kompas. Malamnya editor Kompas menelepon saya dan minta agar tulisan tersebut dipotong menjadi 900 kata.
Saya bilang, saya tak sanggup memotong tulisan saya sendiri karena akan jadi berantakan. Tapi, kata editor tadi, tulisan di Kompas maksimal hanya 900 kata, sementara tulisan Anda 2.400 kata.
Saya bilang kalau begitu tak usah dimuat saja dari pada dipotong jadi berantakan. Saya kemudian dapat kabar bahwa tulisan saya itu sudah dirapatkan oleh tim editor dan dinyatakan bagus, perlu dimuat, masalahnya tulisan itu terlalu panjang.
Di akhir percakapan, nasib tulisan itu saya serahkan sepenuhnya kepada editor.
Akhirnya Dimuat
Tibalah hari minggu dan saya lihat tulisan saya tentang pameran Sumadiyasa itu dimuat satu halaman penuh. Baru kali itu sebuah resensi di Kompas menghabiskan ruang full satu halaman penuh.
Tulisan saya kemudian menjadi perbincangan di mana-mana di lingkungan seni. Malamnya saya mendapat telepon kembali dari editor. Ia minta agar saya tidak menulis sepanjang itu lagi. Kami jadi bingung.
Tulisan Anda bagus, tapi tertalu panjang. Dibuang, sayang. Dimuat, menyalahi aturan, kata sang editor.
Sekali lagi, tulisan kritik seni saya selalu dengan perspektif kajian budaya, dengan teori post-modern, post struktural, teori-teori kritis, atau serupanya.
Tak Pernah Ditolak Media Massa
Alhamdulillah, tulisan saya berupa resensi atau esai seni rupa, sejak itu, tak pernah ditolak oleh media massa Indonesia mana pun. Bahkan, majalah Gatra sering minta tulisan kepada saya serupa penugasan untuk menulis topik tertentu pada edisi tertentu.
Sebagian tulisan yang pernah dimuat di media massa itu, kini telah dikumpulkan dalam Kritik Seni: Sekumpulan Esai, Resensi, dan Profil Seni Rupa (Mahima Institut Indonesia, 2021).
Buku tersebut telah habis di pasaran dan sedang cetak ulang. Oya, beberapa tulisan saya telah pula diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman oleh Goethe Institut dan disebarkan di Jerman.
Terima Kasih Kajian Budaya
Terima kasih Kajian Budaya Universitas Udayana. Dengan teori kajian budaya, posisi saya selaku kritikus seni semakin kokoh. Ini ditandai misalnya dengan saya menerima penghargaan Bali Jani Nugraha sebagai kritikus seni rupa dari Gubernur Bali, Dr. Wayan Koster.
Sambil menulis disertasi untuk program S3 Kajian Budaya, saya tetap menulis kritik seni. Kini menulis di Kompas.id, karena Kompas edisi cetak semakin langka. Disertasi saya berjudul “Tubuh sebagai Ekspresi Perlawanan: Representasi Ideologi Seksual Perempuan perupa Kontemporer Bali” ini berisi:
Pertama, bentuk representasi ideologi seksual perempuan perupa kontemporer Bali mencakup unsur rupa tradisional, modern, dan postmodern;
Kedua, perihal ideologi ada tiga ideologi yang bekerja di balik karya perempuan perupa kontemporer Bali yaitu idelogi budaya, ideologi feminisme, dan ideologi estetik; dan
Ketiga, perbincangan pergulatan makna , yaitu tubuh domestik sebagai jalan ke luar rumah dan sebagai cara menolak kuasa laki-laki.
Temuan penelitian dalam disertasi ini yakni bentuk sebagai alat atau Bahasa (teks) untuk menyatakan tanggapan perempuan perupa kontemporer Bali tentang tubuhnya sendiri; Isi adalah pernyataan perempuan perupa kontemporer Bali terhadap kuasa laki-laki.
Atas bimbingan dan arahan para promotor: Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, dan Dr. Gede Mudana M.Si. disertasi ini saya kirimkan ke penerbit Rajawali Pers di Depok.
Astungkara, setelah diedit oleh Dr. Gede mudana, M. Si., disertasi ini terbit sebagai buku dengan judul Perlawanan Tubuh Seksual: Perempuan Perupa Bali (2020).
Buku ini telah habis di pasaran dan akan segera cetak ulang. Alhamdullah.
Hardiman
Email: hardiman@undiksha.ac.id
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA