Kabar Alumni, Dr. Karolus Budiman Jama, M.Pd.: Kajian Budaya Menyelamatkan Eksistensi sebagai Dosen
Dr. Karolus Budiman Jama, M.Pd.
Angkatan: 2016
Disertasi: Dekonstruksi Ruang Simbolik atas
Matinya Estetika Caci Etnik Manggarai di Flores
Berlayar di Lautan Ilmu Cultural Studies. Sekali mengayuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Peribahasa ini barangkali tepat bagi saya saat memilih kuliah pada program studi S3 Kajian Budaya Unud. Peribahasa ini benar-benar saya alami selama kuliah di Prodi S3 Kajian Budaya Unud.
Bagi saya, Bali adalah sebuah daerah yang ramah dan terutama kekayaan budaya serta seninya. Bali juga daerah yang nyaman untuk menimba ilmu, untuk belajar, berlayar di lautan pengetahuan.
Saya ke Bali untuk belajar disiplin baru: Kajian Budaya. Yang pasti saya tidak menyesal berada dalam ruang akademik yang mengolah daya pikir saya. Seperti sebuah tumbuhan, saya diberi asupan pupuk organik dan air untuk bertumbuh dalam kebebasan akademik.
Seperti tumbuhan juga, bagian-bagian yang kering dipangkas agar tidak mengganggu pertumbuhan bagian tumbuhan yang lain. Bahkan secara radikal, bagian yang kering itu diolah menjadi sesuatu yang berguna.
Itulah karakteristik Cultural Studies di Fakultas Ilmu Budaya Unud yang sebelumnya Program Studi ini berada pada Program Pascasarjana. Sejak akhir 2016, semua program S-2 dan S-3 di Unud yang bernaung di bawah pascasarjana dipindahkan ke fakultas masing-masing.
Awal Kuliah
Awal kuliah, pemahaman saya tentang ilmu Kajian Budaya jauh dari teman-teman seangkatan. Pemahaman saya tentang ilmu kajian budaya masih pada tataran antropologis.
Ruang berpikir saya cenderung pada pola positivistik. Jujur saja, saya berontak saat itu. Itulah pulau pertama yang saya lalui.
Latar belakang ilmu saya sebelumnya adalah pendidikan musik. Saya hanya fokus pada bagaimana saya bermain musik dan mengajar anak-anak didik saya baik di kampus maupun di rumah musik yang saya bangun.
Terpikir untuk Ke Luar
Sempat terpikir untuk ke luar dari Kajian Budaya karena rumitnya cara berpikir Cultural Studies. Sebagai seorang musisi tentu saya tidak boleh menyerah. Menikmati ruang akademik yang baru ini adalah cara saya memahami permukaan disiplin ilmu Kajian Budaya.
Saya mulai beradaptasi, mengikuti berbagai diskusi, membaca buku di ruang perpustakaan. Ini pulau kedua yang saya lampaui.
Seperti mahasiswa doktoral lainnya, memikirkan tema disertasi adalah sesuatu yang rumit. Ditambah oleh kebingungan mempertemukan disiplin yang mapan sebelumnya dengan pola dekonstruktif dan kritis dalam Cultural Studies. Ini adalah tahun-tahun yang berat.
Seperti menghadapi badai dan ombak yang tinggi serta arus yang kuat. Namun, kerumitan itu diurai oleh arus kritis dalam estetika yang saya pelajari. Kecemasan itu juga berkurang karena dosen dan tim promotor yang terbuka dan menghargai kekurangan saya.
Singkatnya, lagi-lagi saya justru dikuatkan oleh para penganut aliran kritis di Kajian Budaya FIB Unud. Pulau ini barangkali yang berat sekaligus ringan rasanya setelah dilalui.
Point pentingnya adalah pada tahap disertasi adalah ruang saya ditempa untuk semakin kritis.
Menyelamatkan Eksistensi Dosen
Sebagai seorang dosen musik yang dititip pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tentu sangat sulit bagi saya. Akan tetapi, belajar di Prodi S3 Kajian Budaya menyelamatkan eksistensi saya sebagai seorang dosen.
Musik yang saya pelajari di jenjang S1 dan S2 hanya bisa mengantar saya pada dunia sastra. Itu pun hanya sebagiannya yaitu mengajar musikalisasi puisi dan dramatisasi puisi. Tidak lebih dari itu.
Bisa dibayangkan posisi saya berada pada dunia yang tersesat ini. Rupanya, saya diarahkan untuk tersesat pada jalan yang benar.
Setelah masuk pada dunia Kajian Budaya, saya justru menemukan dunia yang sesungguhnya. Suka dan belajar musik klasik yang disiplin, dan sejak kecil diajarkan untuk mencintai seni tradisi, Kajian Budaya adalah ruang yang tepat bagi saya.
Sedikit berbangga, belajar pada Kajian Budaya saya memiliki bekal untuk mengajar mata kuliah Ekonomi Kreatif berbasis budaya pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Linguistik Kebudayaan, dan Semiotika pada Prodi S2 Ilmu Linguistik.
Inilah kisah saya diselamatkan oleh disiplin Kajian Budaya. Bersyukur dan terima kasih berlimpah bagi almamater saya S3 Kajian Budaya Unud yang telah menempa dan mendampingi saya dalam mengarungi dunia akademis.
Akhirnya, izinkan saya untuk mengatakan “Percayalah Anda tidak salah mengarungi dunia Kajian Budaya di FIB Unud. Mari belajar” (*).
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA