Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Universitas Udayana Memiliki 35 Alumni Bergelar Profesor

`

Alumni Prodi Doktor Kajian Budaya dalam reuni 19 Juli 2022. 

 

Memasuki usia 22 tahun pada 2023, Prodi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana memiliki 35 orang alumni yang bergelar profesor. Semoga alumni Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud lainnya segera sukses meraih gelar guru besar.

 

Jumlah alumni doktor Kajian Budaya sampai Februari 2023 adalah 273 orang. Ini berarti, jumlah alumni yang berhasil meraih guru besar sebesar 12,8%.

 

Demikian hasil penjaringan data alumni Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud yang dilakukan Februari 2023 menjelang kegiatan Lokakarya Kurikulum dan RPS Prodi, Senin, 27 Februari 2023. Penjaringan data dilaksanakan melalui Google Form dan komunikasi personal untuk memperlancar perolehan data.

 

Angka 12,8% termasuk membanggakan, karena melampaui angka 10%. Jika dilihat dalam konteks komparatif, angka minimal 10% biasanya dijadikan syarat minimal jumlah profesor dari keseluruhan tenaga akademik yang dimiliki sebuah universitas. Dengan angka minimal 10%, sebuah universitas dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan akademik yang berkualitas.



Alumni Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud saat menggelar Reuni 2022.

 

Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud merupakan prodi pertama di Indonesia. Pada masa awalnya banyak menerima mahasiswa dari berbagai daerah termasuk satu dari Amerika dan dari Belanda. Awalnya Prodi Doktor Kajian Budaya merupakan satu-satunya prodi Kajian Budaya. Belakangan, alumni itu sudah mengembangkan prodi kajian budaya dan sejenisnya di institusi masing-masing.


Ada yang menjadi rektor di PTN atau PTS, seperti Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. di UHN IGB Sugriwa Denpasar dan Prof. Dr. Nyoman Sri Subawa, S.T., S.Sos., M.M. sebagai rektor Undiknas Denpasar. 

 

Alumni Prodi Doktor Kajian Budaya  FIB Unud tidak saja berkarier di dunia akademik. Ada juga yang berkarier di dunia politik/birokrasi seperti Prof. Tjokorda Oka Sukawati (Cok Ace) yang menjadi Wakil Gubernur Bali, sebelumnya juga menjadi Bupati Gianyar satu periode. Prof. Dr. Nengah Duija, pernah menjadi Rektor Institut Hindu Dharma (IHD) Denpasar, sejak 2022 menjadi Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama.

 

Prodi Doktor Kajian Budaya Unud berhasil memberikan kontribusi awal dalam pengembangan disiplin Kajian Budaya di Indonesia, antara lain melalui alumni Prodi Doktor Kajian Budaya yang bergelar guru besar dan tersebar di berbagai daerah.

 

Tersebar di Berbagai Daerah

Dari data 35 alumni profesor itu, lokasi afiliasi lembaga mereka tersebar di berbagai daerah, seperti Medan, Padang Pariaman (Sumbar), Yogya, Solo, Surabaya, Denpasar, Mataram, dan Kendari (Tabel 1). Sebaran alumni (yang belum profesor) lebih luas dari kota-kota ini.

 

Jumlah alumni profesor terbanyak memang di Bali, dan untuk di Bali lembaga yang memiliki guru besar alumni guru besar yang dominan adalah UNHI, ISI, dan UHN IGB Sugeriwa. Pada awalnya, dosen-dosen dari perguruan tinggi ini berkuliah S3 di Unud, belakangan berkurang karena mereka sudah memiliki program doktor sendiri yang dibangun dan diperkuat oleh alumni Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud.

 

Tabel 1. Nama Profesor, Instansi dan Bidang Ilmu



 





Bidang Ilmu

Dilihat dari bidang ilmu para guru besar jelas tampak berbeda-beda. Ada yang mendapat gelar profesor di bidang “Kajian Budaya”, “Ilmu Kajian Budaya”, dan juga ada “Kajian Budaya – Seni Pertunjukan Rakyat”.

 

Yang lain menyandang gelar profesor dengan bidang ilmu Antropologi, Antropologi Agama, Sosiologi Agama, Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya, Filsafat, Kritik Sastra, serta Bidang Kajian Seni Karawitan. Bidang-bidang ini masih terasa dekat dengan Kajian Budaya.


Bidang yang terasa agak berjarak adalah ilmu manajemen dan ilmu hukum. Akan tetapi, disiplin apa pun tetap relevan dikaji dari aspek budaya, yang merupakan bekal keunggulan Kajian Budaya.

 

Bervariasinya bidang ilmu guru besar alumni Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud itu terjadi karena ditentukan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang pendidikan dan riset yang ditekuni selama ini; penugasan oleh lembaga atau putusan Senat tempat alumni bekerja; juga bisa karena penyesuaian dengan bidang ilmu yang tercantum dalam SK jabatan Lektor Kepala sebelumnya.

 

“Kalau kasus saya, awalnya saya usul Kajian Budaya, tapi sidang senat merekomendasikan Antropologi Agama, karena saya intens penelitian di sektor itu meski dengan pendekatan cultural studies,” ujar Prof. Abdul Wahid.

 

Jelas sekali tidak ada satu pola bidang ilmu guru besar yang diperoleh oleh alumni Prodi Doktor Kajian Budaya. Hal ini menunjukkan dinamika perkembangan disiplin ilmu dan interdisipliner yang dilakukan penekun ilmu. Variasi ini tidak saja menunjukkan dinamika tetapi juga inovasi. 

 

Disiplin Kajian Budaya yang senantiasa bersifat kritis memberikan dasar untuk melakukan pembaruan lewat dekonstruksi dan rekonstruksi.

 

Inovasi atau pengembangan itu tidak saja terjadi di bidang Kajian Budaya tetapi juga bidang lain, seperti pariwisata. Sebelumnya ada guru besar “Ilmu Pariwisata”, belakangan muncul guru besar dengan bidang ilmu Pariwisata Lingkungan. Dalam disiplin sastra, ada guru besar bidang "Ilmu Sastra", belakangan "Kritik Sastra". 

 

Yang jelas, dari variasi dan data 35 alumni meraih gelar profesor menunjukkan bahwa tidak ada hambatan bagi doktor Kajian Budaya dalam meraih jabatan guru besar hanya karena bidang ilmunya. 

 

Kalau ada hambatan, hal itu mungkin disebabkan persoalan lain. Isu linieritas dalam disiplin Kajian Budaya bukan karena Kajian Budaya-nya tetapi mungkin karena faktor lain.

 

Masa Studi dan Meraih Jabatan Guru Besar

Masa studi alumni yang berhasil meraih jabatan guru besar bervariasi, dengan rentang waktu dari paling cepat 3 tahun, dan paling lama 11 tahun, masing-masing untuk satu orang (Tabel 2). Untuk alumni doktor lainnya, angka lulus tepat waktu dan lambat juga terjadi, namun tidak tergambar di sini karena ini khusus untuk data alumni yang meraih guru besar.

 

Jika diambil rata-rata, masa studi doktor alumni Kajian Budaya yang meraih gelar guru besar adalah 5,1 tahun. Rentang waktu ini termasuk normal untuk studi humaniora. Akan tetapi, dengan diperkenalkan studi tepat waktu dengan masa studi 3 tahun, tentu saja masa 5,1 tahun itu perlu ditekan secara serius agar bisa lebih singkat sehingga kinerja Prodi meningkat.

 


 


Jika dilihat masa waktu yang diperlukan alumni Prodi Doktor Kajian Budaya dalam meraih jabatan tertinggi guru besar, juga ada yang cepat ada yang lambat (Tabel 3). Yang paling cepat meraih jabatan gubes adalah 2 tahun, yang diraih oleh 6 alumni. Sementara, alumni yang meraih guru besar dengan waktu lebih lambat adalah selama 14 tahun yang dialami oleh satu alumnus. 

 

Jika dirata-ratakan waktu yang diperlukan alumni untuk mendapatkan gelar guru besar adalah 6,5 tahun. Tentu saja masa waktu ini relatif cepat, namun belakangan bisa lebih cepat lagi ketika ketentuan prosedur kenaikan pangkat dibuat secara kompetitif dan efektif efisien proses pemeriksaan berkas usulan kepangkatan dilakukan secara daring.


 


 

Pembaruan Kurikulum secara Berkelanjutan

Sejak pertama didirikan tahun 2001, Prodi Doktor Kajian Budaya hadir sebagai satu-satunya prodi sehingga menarik perhatian banyak calon mahasiswa.


Dalam memasuki usia seperempat abad, mengingat juga perubahan dunia secara radikal akibat dari revolusi teknologi 4.0/5.0, maka mau tidak mau Prodi Kajian Budaya mesti aktif memperbarui isi dan strategi pembelajaran, yang secara prinsipil harus dilakukan melalui peninjauan kurikulum. 

 

Aspirasi mahasiswa dan pengguna lulusan (user) serta alumni juga menjadi sumber untuk pembaruan kurikulum sehingga di antara sekian banyak harapan, semakin banyak alumni Prodi Doktor Kajian Budaya Unud bisa meraih jabatan akademik tertinggi: Profesor.

 

Keberhasilan alumni meraih jabatan akademik guru besar adalah refleksi dari pencapaian Program Studi dalam menjalankan proses-belajar mengajar yang berkualitas.

 

(Darma Putra, Korprodi Doktor Kajian Budaya FIB Universitas Udayana).