Sepuluh Mahasiswa dan dosen Prodi S3 Kajian Budaya Antusias Mengikuti Kuliah Umum Budaya Populer dari MLTL BRIN

`

 
Mahasiswa dan dosen Prodi S3 Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud secara antusias mengikuti Public Lecture Seri #4 yang dilaksanakan Pusat Riset Manuskrip, Literature, dan Tradisi Lisan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (MLTL BRIN), Selasa, 23 Mei 2023. Kuliah umum itu disampaikan secara daring, diikuti sekitar 110-an peserta, termasuk 10 dari Prodi Doktor Kajian Budaya yang ikut dari Denpasar dan Seoul.
 
Dorongan mengikuti kuliah disampaikan Korprodi Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., mengingat materi yang relevan mengenai budaya populer dan budaya transnasional. “Selain materinya, juga narasumbernya yang sangat kompeten,” ujar Prof. Darma, yang juga mengikuti acara tersebut.


Prof. Manneke Budiman

 
“Pendalaman ilmu Kajian Budaya bisa dilakukan dari berbagai kegiatan.” Ujar Prof. Darma, yang pernah mengundang Prof. Manneke memberikan kuliah tamu kepada mahasiswa S3 Kajian budaya FIB Unud. Kini, kata Prof. Darma, pihaknya berterima kasih kepada MLTL BRIN atas kuliah umum bermutu yang disajikan.
 
Public Lecture MLTL BRIN
 
Kuliah umum bertema “Budaya Populer Transnasional dan Aktivisme Sosial: Fenomena Arus Budaya Asia Timur” dengan narasumber Prof. Manneke Budiman dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Sekaligus Visiting Researcher, MLTL – BRIN. Kuliah dipandu oleh Dr. Sastri Sunarti, M.Hum., Kepala Pusat Riset MLTL BRIN.



 
Dalam kuliahnya itu, Prof. Manneke menyampaikan transnasionalisasi budaya secara historis yang ternyata berasal dari Timur (Asia) kemudian ke Barat, sebaliknya budaya populer berkembang dari Barat ke Timur.
 
Menurut Prof. Manneke, Asia telah mengalami globalisasi tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga budaya sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Dalam presentasinya, Manneke menulis globalisasi bukan fenomena baru bagi Asia, dan bukan suatu fenomena yang dimulai oleh Barat. Saat Asia menikmati globalisasi pada abad ke-16, Eropa baru saja bangkit dari The Dark Ages (Zaman Pertengahan/Zaman Kegelapan).

“Negeri-negeri Barat pada saat itu adalah pemain baru yang masih mencari akses ke pasar Asia,” ujarnya Prof. Manneke.

 
“Di Nusantara, proses “integrasi kultural” diperkirakan sudah mulai terjadi sejak abad ke-1 ketika Hinduisme dan Buddhisme mulai menyebar di Asia Timur dan Asia Tenggara,” ujarnya.
 
Perkembangan Budaya Populer

Dalam uraian selanjutnya, Prof. Manneke menyampaikan perkembangan budaya populer dengan mengambil berbagai contoh terutama K-Pop film dan musik dengan pendukungnya seperti BTS yang didukung fans yang bergabung dalam ARMY.
 
Dalam uraiannya mengenai arus aliran budaya Asia Timur, Prof. Manneke menyampaikan terjadi dalam lima tahap, yaitu (1) Era pradigital: film laga Hong Kong, Drama televisi Taiwan (Meteor Garden); (2) Era ‘Netflix’: Drama televisi dan film Korea & Jepang (3) Korean: K-Pop (boy bands/ girl-bands); (4) Jepang: manga dan anime, cosplay, “techno-culture” (mis: Hatsune Miku); (5) ‘Soft’ masculinity Asia Timur
 
Pertanyaan dan Kesan-Kesan

Mahasiswa dan dosen Prodi Doktor Kajian Budaya yang mengikuti kuliah tamu itu merasa sangat sanang. Mereka aktif mengajukan pertanyaan dan kemudian memberikan kesan-kesannya. Dalam kesan-kesannya, mereka menyampaikan kuliah sangat bermanfaat tentang budaya transnasional.
 
Peserta I Wayan Nuriarta, mahasiswa Prodi Doktor Kajian Budaya Angkatan 2021, misalnya, mengatakan materi yang disampaikan oleh Prof. Manneke Budiman sangat menarik.
 
“Strategi budaya dalam prinsip 3A: adopt-adapt-appropriate (menyerap-mengadaptasi-mengklaim) yang disampaikan bisa menjadi bahan referensi penelitian saya berkaitan dengan "budaya" dalam komik Mahabharata,” tutur Wayan Nuriarta, dosen ISI Denpasar dan seorang kartunis.




 
Gede Pasek Putra mahasiswa Kajian Prodi Doktor Budaya Angkatan 2017 menyampaikan  bahwa dia mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana budaya populer dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan sosial dan dapat memberikan inspirasi untuk perubahan. Fenomena budaya populer seperti musik, film, dan media sosial memiliki kekuatan untuk mencapai audiens yang luas dan mempengaruhi pandangan tentang isu-isu sosial yang relevan.
 
“Topik ini membantu untuk pengembangan kesadaran yang lebih luas tentang budaya dan isu-isu sosial di berbagai dunia. Budaya populer tidak terbatas pada batas geografis, namun mengalir secara bebas melintasi negara dan budaya. Hal ini dapat membuka pikiran tentang keragaman dan pentingnya menghargai perspektif orang lain,” tutur Gede Pasek.
 
Menurutnya, fenomena budaya populer memberikan inspirasi untuk ikut terlibat dalam aktivisme sosial. Suatu gerakan sosial dapat dilakukan dengan menggunakan budaya populer sebagai alat untuk membangun kesadaran dan merangsang tindakan positif. Dengan demikian bisa memberikan kontribusi dalam upaya perubahan sosial melalui kreativitas dan pengaruh budaya populer.
 
Saat webinar, Pasek menyampaikan pertanyaan tentang film animasi Upin Ipin. “Saya mohon ijin bertanya, bagaimana pandangan Prof terkait budaya popular Upin Ipin di Indonesia. Khususnya di Bali. Tokoh Upin Ipin tiap tahun menjadi inspirasi pembuatan karakter Ogoh-ogoh. Adanya beberapa media sosial (FB & IG) menggunakan nama Upin Ipin, meskipun kontennya bukan tentang Upin Ipinnya. Nama warung bakso, dengan nama Upin Ipin. Anak-anak mengikuti logat dan bahasa yang digunakan Upin Ipin. Terdapat juga video kreasi yang menggabungkan musik pop Bali populer dengan cuplikan-cuplikan film animasi Upin Ipin. Dan masih banyak lagi yang lainnya,” katanya.
 
Peserta Dr. Ida Ayu Laksmita Sari, S. Hum., M.Hum., dosen Sastra Jepang dan dosen Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Universitas Udayana, juga menyampaikan pertanyaan secara tertulis. Tanyanya: “Apakah ada alasan mengapa fenomena transnasional Korea saat ini Lebih berpengaruh di Indonesia dibandingkan Jepang, padahal dulunya J. Pop dan anime sangat berpengaruh bagi konsumen Indonesia?


Menurut Prof. Manneke, sebetulnya J-pop masih sangat berpengaruh di Indonesia, bukannya hilang setelah masuknya pengaruh K-pop.
 
Dari Seoul
 
Mengikuti acara dari Seoul Korea Selatan, Dr. Evelyn Yang menyampaikan kesannya bahwa kuliah Prof. Manneke sangat menarik.
 
Mahasiswa Prodi Doktor Kajian Budaya angkatan 2022 itu menyampaikan rasa senangnya dapat turut serta dalam webinar yang digelar BRIN yang sangat bermanfaat.


“Saya seperti melihat kembali bagaimana budaya populer khususnya K-Pop dari sudut pandang Indonesia. Tidak menyangka ternyata ada banyak sekali kegiatan yang melibatkan BTS di Indonesia, tanpa personel dari BTS terjun langsung dalam kegiatan tersebut secara fisik. Semoga akan ada lagi lanjutan dari kuliah ini untuk membicarakan apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia dengan budayanya yang sangat bervariasi untuk bisa go transnational dan tema-tema lanjutan lainnya yang tentunya akan sangat menarik dan mencerahkan,” tutur Evelyn Yang, penerjemah profesional Bahasa Indonesia-Korea-Indonesia termasuk untuk pejabat tinggi Indonesia yang datang sebagai tamu negara ke Korea Selatan.
 
Mahasiswa I Made Marthana Yusa, dari Prodi Doktor Kajian Budaya Udayana mengajukan pertanyaan tentang seberapa besar potensi subkultur bisa menjadi pop culture? Beberapa contoh subkultur semacam Harajuku style pernah menjadi bagian dari Pop Culture yang muncul anime, manga kemudian mengonstruksi subkultur baru seperti Cosplay.
 
Untuk pertanyaan tersebut, Prof. Manneke menyampaikan bahwa subkultur merupakan emergent culture yang posisinya berjarak dgn budaya dominan. Emergent culture punya kekuasaan dalam melakukan kreasi untuk mengubah-ubah dirinya, sementara yang dominant culture (budaya dominan) seolah mati dan dilindungi untuk tidak mudah diubah. Emergent culture bagian dari subculture. Eksistensinya di pinggiran, namun kehadiran teknologi digital lewat revolusi industri 4.0/ 5.0 membuat subkultur itu bisa populer dan menyebar sehingga tidak bisa lagi dianggap berada di pinggiran (margin).
 
Sebagai Korprodi Doktor Kajian Budaya, Prof. Darma Putra yang mengikuti webinar itu juga iktu bertanya. Pertanyaannya berkaitan dengan apakah kesenian tradisional yang banyak diunggah di kanal youtube dan platform media sosial lainnya bisa dianggap sebagai budaya popular?
 
Setelah menjelaskan berbagai pengertian budaya populer antara lain sebagai budaya rakyat, maka Prof. Prof Manneke menyampaikan bahwa kegiatan semacam gita shanti yang dihadirkan peminat sastra Bali di dunia digital bisa dianggap sebagai budaya populer (dp).