Kabar Alumni, Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S.: Perkawinan Kajian Budaya dan Kajian Tradisi Lisan

`

Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S.

Angkatan: 2010

Afiliasi    : Universitas Udayana

Disertasi: Sa Ngaza dalam Ritual Adat dan Ritual Keagamaan Etnik Ngadha di Flores


Berikut sekelumit kisah yang saya alami sebagai alumni doktor Prodi Kajian Budaya Universitas Udayana. Dengan latar belakang pendidikan S1 dan S2 sastra khususnya tradisi lisan, pengalaman saya dan beberapa kawan studi di Kajian Budaya adalah merasakan perkawinan indah antara Kajian Budaya dengan kajian Tradisi Lisan.


Berkatnya, kami bisa sampai ke Leiden dan Tokyo, menggali ilmu dengan sungguh sampai jauh.



Bersama Prof. Dr. Maria Emiliah, S.U. Guru Besar dan dosen S3 Kajian Budaya, Pendamping mahasiswa KTL dalam Program Sandwich Like Program di Leiden Belanda.


Saya lulus S1 Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universtas Udayana (1980 - 1985), S2 Magister Sastra Filologi di Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung (1988 – 1991). Setelah jeda hampir dua puluh tahun, pada 2010 saya melamar untuk menjadi mahasiswa S3 Program Kajian Tradisi Lisan (KTL) Dikti, yang difasilitasi melalui Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di bawah pimpinan Ibu Dr. Pudentia MPSS.


Ada lima perguruan tinggi yang dilibatkan dalam program KTL yaitu Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Univeritas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, dan Universitas Sumatra Utara (USU) Medan.  Di Unud program KTL dilaksanakan di Prodi S2 dan S3 Linguistik dan Prodi S2 dan S3 Kajian Budaya. Saya memilih S3 di Kajian Budaya (2010 – 2015) di Universitas Udayana Denpasar.


Setelah lulus, ada sejumlah aktivitas akademis di bidang Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya bidang penelitian melalui penulisan jurnal, makalah seminar dan konferensi yang diterbitkan dalam prosiding dan buku, book chapter, buku editor dan catatan pengantar buku, dan bentuk publikasi media cetak lainnya. Selain itu, dalam lima tahun (2016 – 2021) saya menulis dan menerbitkan novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015/2016), Doben (2016). Suara Samudra (2017), Bulan Patah (2021), dan akan terbit Pasola (2021/2022). Aktivitas bidang penelitian dan menulis novel ini ada kaitannya dengan program Penelitian dan Kajian Tradisi Lisan dan studi S3 Kajian Budaya yang saya pilih.


Penelitian dan Kajian Tradisi Lisan

Program Penelitian dan Kajian Tradisi Lisan diselenggarakan dalam kluster kajian langka oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tingi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional. Dikti  bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), NESO (Netherlands Education Support Offices) dan KITLV. KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde), sebuah lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda. KITLV berkantor pusat di Leiden dan  kantor perwakilan di Jakarta. KITLV adalah salah satu pusat dokumentasi tentang Indonesia dengan lebih dari lima ratus ribu dari tiga ratus ribu judul tentang Indonesia dan Asia Tenggara.


Dalam Pedoman ”Penelitian dan Kajian Tradisi Lisan” (selanjutnya disingkat KTL) yang dikeluarkan Dikti tertulis: ”Di tengah kemajuan peradaban umat manusia, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi modern, tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan peradaban.


T
radisi lisan mengandung tidak hanya cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga berbagai hal menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Misalnya, kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni.


Pada bagian lain pedoman KTL itu tertulis juga: “Tradisi bukanlah barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu. Perlu  dibangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dalam menghadapi hegemoni dan kekuatan di luar dirinya.


Ada tiga hal yang menarik dari catatan di atas yaitu KTL diletakkan dalam: (1) konteks sosial budaya, politik, dan ekonomi untuk membangun kesadaran identitas lokal sebagai kekuatan plural dan multikultural; (2) konteks yang sifatnya pragmatis; dan (3) konteks peristiwa budaya yang terjaga, terpelihara, dan diciptakan kembali untuk dijaga dari kepunahannya.

Bidang ilmu yang langsung terkait dengan KTL adalah susastra, bahasa, seni pertunjukan, sejarah, antropologi, religi, hukum, filsafat, komunikasi, pengetahuan dan teknologi tradisional.


KTL yang ditawarkan ATL bersama Dikti cukup meyakinkan untuk menuju tradisi lisan lokal yang dihadirkan dalam berbagai peristiwa budaya yang ditransmisi secara lisan. Hal ini berkaitan dengan pandangan Parry – Lord (1984) dalam teori formula yang menjelaskan bahwa pewarisan tradisi lisan adalah kelisanannya. Artinya, tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun akan tetap terjaga dengan baik jika tetap menjadi bagian dari aktivitas sosial budaya masyarakat pemiliknya dalam bentuk lisan (terutama).


Pandangan Parry - Lord mengandaikan sebuah kondisi pewarisan dan transmisi tradisi lisan yang terjaga dan hidup di tengah masyarakat pemiliknya. Kenyataannya, terdapat banyak tradisi lisan yang terancam dan mengalami degradasi nilai bahkan punah karena tantangan eksternal maupun internal.  


Awal Kuliah yang Mengejutkan

Kuliah S3 Kajian  Budaya Universitas Udayana dimulai dengan matrikulasi pada bulan Agustus 2010, sebelum kuliah semester mulai 1 September. Awal kuliah yang mengejutkan karena mahasiswa berasal dari berbagai latar belakang ilmu: ekonomi, teknik, pertanian, matematika, dll.


Lebih mengejutkan lagi adalah suguhan materi seperti teori globalisasi, neoliberalisme, postmodernisme, estetika dan industri budaya, hegemoni, postkolonialisme, hiperealitas, kritik ideologi, kontestasi identitas, dan lainnya. Pada waktu itu masuk pula bacaan yang asing untuk saya pribadi seperti konsep habitus, modal, arena, dan teori modal dari Piere Bourdieu, dekonstruksi Jacques Derrida, hegemoni dan globalisasi Anthony Gramsci, dan beberapa bacaan lainnya yang membuat kening tambah berkerut.


Kejutan tersebut menurun tensinya ketika kami menjadi kelas khusus mahasiswa S3 Kajian Budaya sejak semester 1. Ada beberapa mata kuliah kajian budaya yang wajib diambil, dan ada kurikulum Penelitian dan Kajian Tradisi Lisan (KTL) yang mesti kami ikuti.


Kuliah yang disepakati untuk mahasiswa S2 dan S3 Program KTL dalam Prodi Kajian Budaya ketika itu adalah: 1) Teori dan Metode Kajian Tradisi Lisan, 4 SKS (minimal 3 SKS, tergantung beban tugasnya); 2) Tradisi Lisan Nusantara, 4 SKS (minimal 3 SKS, tergantung beban tugasnya); 3) Studi Lapangan, 3 SKS; dan Bacaan Terbimbing, 6 SKS (Khusus hanya untuk S3).

Kelas kami terdiri atas 7 orang mahasiswa, 4 laki-laki, 3 perempuan. Pulumun Ginting (Medan), Hadirman, La Aso, dan La Ode Dirman (Kendari), Mayske Rinny Liando (Manado), Ni Nengah Pariasih dan Maria Matildis Banda (Denpasar).


Kuliah tatap muka berjalan lancar selama tiga semester full. Dalam perjalanan kuliah Kajian Budaya dan KTL, kejutan kajian budaya perlahan-lahan pulih (meskipun tidak hilang sama sekali) karena dosen-dosen dengan latar belakang bahasa dan sastra juga menjadi pengajar beberapa mata kuliah di Kajian Budaya dan sekaligus menjadi dosen mata kuliah di KTL.

Saya secara pribadi (dan bersama teman-teman kelas KTL) mulai sadar bahwa kami adalah mahasiswa KTL yang Kajian Budaya dan mahasiswa Kajian Budaya yang KTL. Pikiran ini muncul perlahan sejak menggarap proposal penelitian KTL.


Disertasi tentang Puisi

Disertasi saya tentang Sa Ngaza (puisi pewartaan identitas) dalam ritual adat yang cenderung termarginalkan dan terlupakan akibat dominasi kekuasaan, kehendak politik, dan kekuatan ekonomi dalam struktur kepemimpinan tradisional. Sa Ngaza khusus yang ditampilkan dalam ritual  pemberkatan rumah adat (ka sa’o) dari rumah adat (sa’o) yang dibangun kembali secara fisik setelah  80 tahun hanya ada namanya saja. Rumah adat tersebut namanya Watu Wea di kampung Wogo Kabupaten Ngada Flores Nusa Tenggara Timur, milik keluarga Siprianus Watu. Ritual untuk rumah adat disandingkan dengan ritual wo’o sa’o Dewa (pemberkatan Gereja) secara inkulturatif di Dadawea, tidak jauh dari kampung Wogo.


Salah satu teori yang saya gunakan dalam KTL Sa Ngaza adalah teori modal dari Piere Bourdieu. Dari sejumlah teks sa ngaza yang ditampilkan pada puncak ritual adat tersebut dapat diketahui modal budaya yang dimiliki pemilik rumah adat (mereka memahami sejarah rumah adat dengan baik), modal sosial (dapat mempertemukan semua wailaki/keluarga), modal ekonomi (mendapatkan dukungan finansial dari modal sosial dan modal budaya), serta modal simbolik (tercermin dari rangkaian ritual yang berjalan lancar ditandai dengan meghe (makan bersama) segenap keluarga dan warga kampung.


Menuju Leiden Belanda

Berkat kuliah KTL – Kajian Budaya saya bersama La Aso dan Pulumun Ginting dari kelas KTL mendapat kesempatan mengikuti Sandwich Like Program di KITLV dan Leiden University di kota Leiden Belanda (akhir September sampai Desember 2011). Kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang teori tradisi lisan serta berbagai informasi tentang nusantara yang tersimpan dengan baik di perpustakaan KITLV.


Waktu itu musim gugur, keberadaan di kota Leiden dari waktu ke waktu ditandai dengan gugurnya daun-daun sepanjang jalan yang biasa kami lewati dengan berjalan kaki, pulang pergi dari rumah kontrak ke perpustakaan KITLV dan Leiden University setiap hari Senin sampai Jumat.


Sejak daun-daun rindang mulai gugur pada akhir September sampai dahan-dahan pohon gundul sama sekali, saat memasuki musim dingin pada akhir Desember memasuki Januari 2012, Leiden memberi pelajaran tentang masa lalu yang diukir dalam sejarahnya sendiri.  Kata ‘penjajahan’ yang melekat dalam pikiran sulit dicabut keluar. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih berarti untuk dipelajari, bahwa begitu banyak informasi tertulis tentang tradisi lisan Indonesia ada di sana, hadir bersama berbagai catatan benda-benda budaya lainnya di beberapa museum tentang Indonesia.


Catatan yang memberi pelajaran bahwa melihat masa depan jauh lebih baik, memberi tempat pada persahabatan dan perkembangan ilmu pengetahuan  demi kemajuan bersama jauh lebih menjanjikan. Ketika era 4.0 bisa menjadikan  ‘dunia dapat dilipat’ (Piliang,1998 dan 2020) menjadi kecil dan disimpan di dalam saku diperlukan ruang yang lebih longgar agar dunia dapat dibentangkan kembali demi mendapatkan angin segar bersama-sama.  


Di Leiden kami peserta sandwich like program  dari Unud, UGM, UI, UPI Bandung, dan USU adalah mahasiswa KTL yang difasilitasi Dikti, ATL, KITLV, dan NESO. Khusus kami bertiga adalah mahasiswa KTL yang Kajian Budaya. Meskipun hanya mengerti sedikit saja tentang kajian budaya, kami bangga karena tanpa sadar arah berpikir kritis dan dekonstruktif memberi pengaruh besar dalam kesempatan untuk selalu mempersoalkan ‘kenyamanan’ tradisi yang dalam beberapa hal perlu dikonstruksi kembali. 


Kembali Ke Udayana

Kembali ke kampus konsentrasi penyusunan proposal, ujian proposal, penyusunan disertasi berlangsung tertatih-tatih karena berbagai hal. Yang paling berpengaruh adalah konflik dalam keluarga besar yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Kesulitan ekonomi menjadi alasan lain yang tidak terhindarkan.


Dalam situasi itu saya mendapat kesempatan mengikuti workshop tentang aksara di Tokyo University (akhir Februari 2014), di mana seluruh biaya ditanggung penyelenggara. Pada titik itu sempat saya merasa kaya dengan pilihan-pilihan saya, S1 skripsi tentang sastra lisan, S2 tesis tentang sastra dan filologi (naskah), dan S3 KTL di dalam ruang Kajian Budaya. Apakah benar perasaan ‘kaya’ ini?


Dalam diskusi dengan teman-teman seangkatan, adik kelas, atau kakak kelas dengan pilihan sama KTL – Kajian Budaya, sering kali kami merasa boleh berbangga dengan apa yang kami dapatkan yaitu pengetahuan kajian budaya untuk kajian tradisi lisan, sekaligus pengetahuan KTL untuk kajian budaya. Muncul pula pertanyaan di antara kami setelah lulus dan menjadi doktor nanti, kami akan menjadi ahli apa? Kajian budaya ataukah KTL?


Dalam renungan, pertanyaan tentang mengapa kajian budaya menjadi berarti dan mengesankan bagi mahasiswa KTL yang kuliah di Kajian Budaya. Yang membekas hingga kini adalah situasi dan kondisi yang tercipta dalam arena pengetahuan KTL – Kajian Budaya. Di dalamnya ada masukkan tentang multikultur, pluralitas, lintas budaya, interdisplin, multidisiplin, dan upaya untuk kritis menilai berbagai fenomena dan ideologi apa yang ada di baliknya.


Terkesan Pemaknaan Malin Kundang

Saya terkenang salah satu materi diskusi tentang Malin Kundang. Si Malin Kundang anak seorang janda miskin yang melarat hidupnya. Dia pergi merantau dan menjadi sukses sebagai saudagar kaya raya. Pulanglah dia bersama istri cantik. Di kampung Malin tidak mengakui ibunya karena miskin dan penampilannya compang-camping. Malin Kundang pun dikutuk ibunya sehingga menjadi batu, sedangkan istrinya menjadi ikan-ikan kecil yang mentotol-totol batu di tepian air.


Teori-teori modern akan menggarisbawahi hukuman yang pantas diterima oleh anak yang tidak berbakti pada ibunya. Intinya Si Malin Kundang pantas dikutuk. Lain hasilnya apabila dikaji dengan paradigma kajian budaya yang cenderung berpihak pada yang menjadi korban.


Dengan teori postmodern, dekonstruksinya Derrida misalnya, konstruksi baru adalah Malin Kundang tidak dikutuk. Ibunya memohon kemurahan Yang Kuasa untuk membuka pikiran dan hati Malin Kundang agar sadar dan kembali ke jalan yang benar. Ibu, anak, dan menantu bisa hidup bahagia.


Dekonstruksi dan konstruksi kembali terhadap cerita Malin Kundang  itu adalah salah satu sudut pandang kritis Kajian Budaya. Waktu itu kami berani berkata bahwa, “beruntunglah mahasiswa KTL dengan kurikulum KTL yang juga mengambil beberapa mata kuliah yang ada dalam kurikulum Kajian Budaya”.


Yang Datang dan Yang Pergi

Sejak kembali dari Tokyo, Maret 2014 sampai Desember 2014 pusat perhatian diarahkan pada penulisan disertasi dengan bimbingan Promotor Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.Hum., Kopromotor 1 Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., dan Kopromotor 2 Dr. Pudentia MPSS (Ketua KTL, dosen FIB UI Jakarta).


Dalam masa 10 bulan itu saya lakukan perjalanan untuk kegiatan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Menado dan Bitung, ATL di Tanjung Pinang Sumatra, dan beberapa kegiatan ATL di Jakarta demi pertemuan dengan Ibu Dr. Pudentia, MPSS yang supersibuk memperjuangkan roh kehidupan berbagai tradisi lisan melalui ATL. Dengan demikian ada dua hal yang saya dapatkan yaitu bimbingan disertasi dan tambahan pengetahuan tentang tradisi lisan.


Dalam sepuluh bulan itu pula saya dapat melewati ujian Seminar Hasil (10 Oktober 2014), Ujian Tertutup (23 Desember 2014). Progres yang cukup menguras tenaga sekaligus menyegarkan pikiran ketika dua langkah penting menuju ujian terbuka berlangsung dengan baik.


Ternyata dalam 10 bulan itu pula ibu kandung saya menderita sakit dan mengalami kemunduran fisik yang cukup drastis. Saya ambil kesempatan pulang setelah ujian terbuka 16 Maret 2015. Gelar Doktor KTL plus Kajian Budaya datang pada saya, setelah 4 tahun + 3 bulan kuliah.  Pada hari Yudisium di Pascasarjana kampus Unud Jl PB Sudirman, 27 Mei 2015 pagi saya mendapat kabar ibu saya meninggal. Nama saya dipanggil urutan ke-8 mahasiswa dengan gelar doktor, pada hari Wisuda 30 Mei 2015 saat saya berada di makam ibu saya di Bajawa Flores.




Ujian terbuka promosi doktor 16 Maret 2015.


Ada yang datang ada yang pergi. Rasa bersalah pada ibu saya bergerak mengikuti setiap langkah. Setelah doktor pekerjaan pertama yang saya lakukan adalah menulis novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Kanisius, 2015/2016) yang saya persembahkan khusus “Untuk Ibu yang Melahirkanku”. 


Saya yakin bahwa kuliah S3 KTL dalam Kajian Budaya berpengaruh besar pada pilihan saya kembali menulis novel (setelah 15 tahun tidak menulis karya sastra cerpen dan novel). Untuk novel pertama ini saya pelajari dominasi budaya patriaki di Ende Flores yang melemahkan posisi perempuan untuk memperoleh akses informasi dan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Mati pun tidak mengapa yang penting lahirkan anak laki-laki, sebab laki-laki adalah sosok yang berdiri di depan sebagai tiang keluarga untuk semua keputusan (dari nia pase la’e) sedangkan perempuan adalah ‘tidak berguna’ bagai ‘selembar daun yang diterbangkan angin” (ana wunu kaju lela).


Saya yakin keinginan untuk berpihak pada yang terpinggirkan, upaya menegakkan kembali kegamangan identitas, melakukan investigasi latar budaya bagi tradisi lisan yang cenderung menuju hilang, dapat dilakukan melalui novel.


Sebagai salah satu dosen, pengajar mata kuliah Sastra Lisan dan mata kuliah Penulisan Prosa di Program Studi Sastra Indonesia FIB Unud, menulis novel menjadi pilihan praktis dan pragmatis.   


Pada Jalan kembali dan Pilihan

KTL dan Kajian Budaya memberi jalan kembali kepada saya untuk memilih dan menentukan pilihan menulis novel dengan latar daerah. Mengangkat tradisi lisan lokal yang mengalami degradasi nilai.


Menulis untuk menyimpan ingatan dulu tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan tradisi dan pewarisannya, membangun sikap-sikap seperti kekeluargaan, kejujuran, kerukunan masyarakat yang dijunjung tinggi. Ingatan yang tidak terhindarkan dari arus globalisasi digital. Khususnya era digital 4.0 dengan kecepatan dan kecermatan teknologi informasi menguasai dunia sampai ke sudut yang paling pelosok.


Sampai saat ini setelah enam tahun tamat dari KTL – Kajian Budaya, di samping artikel untuk jurnal dan berbagai seminar dan konferensi, novel tetap menjadi pilihan penting bagi saya. Tahun 2022 ini akan terbit Pasola novel dengan latar aktraksi tanding berkuda sambil melempar lembing untuk menjatuhkan lawan di Sumba Barat Daya. Kawin tangkap, kawin lari, perempuan yang dimadu berkali-kali dengan argumentasi emas kawin (ladang, ternak, tanah) menjadi bagian dari riset KTL Kajian Budaya.


KTL dalam Kajian Budaya memberi catatan penting untuk membangun karakter tokoh-tokoh yang termarginalkan, tersubordinasi, dan mengalami kekerasan akibat pewarisan tradisi yang keliru. Sebagaimana Malin Kundang yang perlu didekonstruksi demi membangun konstruksi baru yang lebih humanis, demikian pula karakter tokoh dalam “Pasola”, Suara Samudra, Bulan Patah, Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, didekonstruksi demi mewujudkan konstruksi dan makna baru dalam wacana budaya yang sama.


Dalam kajian budaya, selalu disediakan ruang untuk menemukan makna yang berbeda dari wacana yang sama. Pada akhir tulisan ini saya mengerti dengan lebih baik bahwa dalam disiplin intelektual, bukan KTL dalam Kajian Budaya bukan pula Kajian Budaya dalam KTL, tetapi hanya satu saja!


Paradigma kajian budaya besar pengaruhnya dalam KTL dan paradigma KTL adalah bagian dari kajian budaya.        


Kupang, 30 Maret 2022

Maria Matildis Banda

email: mbanda574@gmail.com