Kabar Alumni, Dr. Gede Suardana: Berpikir Skeptis dan Kritis ala Kajian Budaya
Dr. Gede Suardana, S.Pd., M.Si.
Angkatan 2011
Disertasi: Analisis komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses
Hari-hari sewaktu duduk di bangku kuliah
(S1) dipenuhi dengan kegiatan ala aktivis mahasiswa. Berkegiatan dari satu
organisasi ke organisasi. Selepas kuliah, bekerja sebagai jurnalis di Harian
Umum NUSA kemudian berkarier di media online tercepat saat itu, detikcom.
Aktivitas sebagai aktivis dan jurnalis selalu mengajak untuk berpikir skeptis dan
kritis terhadap sebuah kebijakan lembaga kampus dan pemerintah, atau fenomenoa
sosial budaya yang tengah terjadi. Mencoba mengulik apa kepentingan dibalik
semua kebijakan dan aktivitas sosial budaya masyarakat.
Sikap kritis dan skeptis pada masa kuliah
dan dunia jurnalis masih pada tahap mengungkap sebuah fenomena yang sedang
berkembang di masyarakat.
Sikap kritis dan skeptis pada saat itu
tentunya masih dangkal. Serta masih dominan menggunakan cara ala
jurnalis-meminjam suara narasumber terutama para akademisi untuk mengungkapkan
sikap kritis dan skeptis yang ada di benak.
Terkadang ada beberapa sikap kritis dan
skeptis yang tidak mendapatkan saluran melalui narasumber. Hal ini karena sikap
narasumber dari akademisi tidak mampu mewakili bahkan menjawab sikap kritis
saya.
Di Tengah Kegalauan
Di tengah kegalauan, ada kawan mengajak untuk menempuh studi pascasarjana strata dua (S2) kajian budaya. Di tahap ini mulai mengenal keilmuan yang dapat menjadi saluran sikap kritis dan skeptis. Tak puas di tingkat magister, berselang empat tahun, saya melanjutkan studi ke program doktoral meskipun tidak menjadi pengajar di lembaga pendidikan.
Studi Kajian Budaya mampu memberikan jalan yang benar dalam mengasah sikap kritis dan skeptis saya. Kajian Budaya menyadarkan untuk mengungkap lebih dalam dari sebuah fenomena. Membongkar sesuatu yang tak tampak di balik fenomena dengan metode fenomenologi.
Studi kajian budaya yang mengajarkan
berpikir kritis dengan pondasi keilmuan. Ilmu kajian kritis seperti
dekonstruksi, semiotika, komodifikasi, hegemoni dan dominasi membantu daya
pikir saya lebih komperehensif dalam mengungkap sesuatu yang tak tampak dari
sebuah fenomena. Membongkar sesuatu yang tak tampak dari sebuah kebijakan
pemerintah atau pun kepentingan kaum kapitalis. Mengungkap bahwa kebenaran
tidak lagi terpusat namun kebenaran itu jamak menjadi milik siapa saja.
Relevan di Era Disrupsi
Sikap kritis dan skeptis ala Kajian Budaya
sangat relevan di era disrupsi pandemi, disrupsi milenial, dan disrupsi
digital.
Semisal pada era disrupsi pandemi COVID-19,
berpikir kritis ala Kajian Budaya membantu saya untuk mengungkap sesuatu yang
tak tampak di balik fenomena anomali dan paradoksal yang memporakporandakan
kehidupan sosial dan budaya, pariwisata,
ekonomi, dan politik menggunakan pisau teori-teori Kajian Budaya.
Di era disrupsi digital dimana percakapan
tidak lagi bersifat broadcasting (bersumber dari satu titik kemudian menyebar
secara masif) namun sudah menjadi percakapan yang horisontal, sikap kritis dan
skeptis ala kajian budaya dapat digunakan untuk melawan kebenaran artifisial yang
didominasi suara terbanyak, yang sering dimanfaatkan untuk mendominasi
kebenaran.
Sebagai alumni sangat menyambut gembira rencana menghidupkan kembali website Prodi Doktor Kajian Budaya agar dapat merangsang kembali sikap kritis dan skeptis, menjadi saluran sikap akademis serta memberikan sumbangsih solusi atas berbagai fenomena yang ada di tengah masyarakat.
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA