Kabar Alumni, Dr. I Gede Mudana, M.Si.: Kajian Budaya sebagai Cultural Studies: Body of Knowledge ke Postdisiplin
Dr. I Gede Mudana, M.Si.
Angkatan : 2001
Afiliasi : Politeknik Negeri Bali
Disertasi : Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan
Diam-diam Kabar Alumni secara naluriah membuat saya terpanggil menulis meskipun sesungguhnya tidak begitu yakin apakah kabar saya ada manfaatnya bagi pembaca. Di sisi lain, menulis sesuatu seperti ini sungguh terasa berat, dan perlu waktu beberapa hari karena, terus terang, sejak 2018 saya merasa tidak lagi berada dalam lingkungan discourse kajian budaya. Lebih dari itu, pengalaman saya selama kuliah S3 mungkin agak unik, serta berpeluang tidak menarik dan gayut bagi pembaca, karena ada sedikit sisi emosional yang mesti diuraikan secara subjektif di ruang ini dari sesungguhnya begitu besar cinta dan gairah saya pada bidang ilmu yang ber-leluhur di Inggris ini.
Selulus (S1) Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Udayana, saya tidak terlalu paham harus melanjutkan studi di mana. Pokoknya, saya bisa masuk S2 saja. Pernah berminat di program magister pariwisata tetapi saat itu belum ada di Bali. Karena saya dosen Jurusan Pariwisata (bukan mengajar bahasa Inggris) saya memilih Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pilihan keren mungkin saat itu, dan ini cenderung rasional karena program studi ini memiliki konsentrasi (peminatan) pariwisata budaya (cultural tourism) lebih-lebih, selepas S1, saya menyelesaikan pendidikan diploma kepariwisataan di Australia. Pada 1997, saya pun masuk di Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana.
Di S2, melalui beasiswa BPPS, mulailah saya berkenalan dengan keliaran belantara keilmuan kajian budaya (tepatnya: cultural studies) di bawah bimbingan Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (pendiri Kajian Budaya Unud). Sungguh saya beruntung mendapat—katakanlah—pencerahan dari sejumlah bekal ilmu, cerita-cerita kepingan pengalaman keilmuan, dan gagasan-gagasan beliau yang futuristik, penuh kejutan, dan berkeberpihakan a la cultural studies. Beliau yang selanjutnya saya anggap orang tua kedua memperkenalkan begitu bernas aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi khas cultural studies, terutama di luar kelas saat saya menemani beliau di sejumlah aktivitasnya. Atas rekomendasi beliau, setamat S2 tahun 2000 saya langsung ikut program S3, sebagai angkatan pertama. Beliau menjadi promotor saya.
Ditinggal Promotor setelah Ujian Kualifikasi
Ini mungkin pengalaman aneh, sedikit dramatis, tapi nyata adanya. Sejujurnya saya tidak punya modal ekonomi yang cukup kuat untuk kuliah di S3. Entah karena dorongan apa, setamat S2, saya merasa tetap harus melanjutkan kuliah. Saya tidak pernah melupakan, SPP semester pertama dibayari seorang teman yang baik hati. Semester kedua, tiba-tiba ada beasiswa “satu kali SPP” dari sebuah yayasan di Jakarta. Baru sejak sejak semester ketiga saya mendapat beasiswa penuh dari sebuah lembaga yang dananya langsung dari Ford Foundation hingga selesai kuliah pada 2005.
Cukup serius berkuliah hingga ujian kualifikasi di bawah arahan Prof. Bagus selaku promotor, ternyata beliau begitu cepat pergi (16 Oktober 2003). Pertemuan kami terakhir adalah ketika saya diminta beliau mengambilkan foto-foto dari kunjungannya ke Belanda beberapa waktu sebelumnya di sebuah studio foto. Sebenarnya tidak tampak ada tanda-tanda beliau akan pergi saat saya menemuinya kali terakhir di kamar tamu rumahnya di Jalan Sudirman, depan Kampus Unud. Yang saya lihat beliau hanya kecapekan saja. Begitulah, saat saya balik dari kampung, seorang teman menelpon bahwa beliau wafat di rumah sakit. Beliau masuk rumah sakit pun saya tidak tahu. Bisa dibayangkan betapa saya merasa sedih dan kehilangan saat itu. Seperti saya, kajian budaya dan Kajian Budaya Unud begitu berduka.
Sampul depan buku suntingan dari karya-karya Pro.f Dr. I Gusti Ngurah Bagus memperingati setahun wafatnya beliau.
Akhirnya Prof. Dr. I Wayan Ardika MA Kopromotor 1 yang saat itu Kaprodi menjadi Promotor. Prof. Dr. Ir Kutut Suwondo, M.S. dari Universitas Satya Wacana (Salatiga) naik menjadi Kopromotor 1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S. pun diangkat menjadi Kopromotor 2. Secara personal, saya merasakan peran Prof. Bagus di Kajian Budaya pada satu-dua sisi tertentu kemudian diisi Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. Prof. Suastika (kemudian menjadi Kaprodi) juga berjasa membuat saya akhirnya lulus doktor. Beliaulah yang memarahi saya tatkala saya terlalu sibuk mengurus Jurnal Kajian Budaya (sekarang tidak terbit lagi) di depan komputer di ruang Kajian Budaya sementara tidak pernah fokus dan serius mengerjakan disertasi. Kalau beliau tidak marah saat itu, mungkin juga studi saya tidak selesai.
Jurnal Kajian Budaya, sempat trend pada masanya, sayang tak mampu bertahan dalam gempuran kesinambungannya…
Mengalami Kajian Budaya: Indah tapi Misterius…
Cukup banyak bekal pengalaman saya peroleh dalam pembelajaran kajian budaya di S3 untuk saya terapkan di tempat saya bekerja saat ini dan bahkan dalam cara berpikir saya secara keseluruhan. Aspek-aspek kefilsafat-ilmuan serta teoretisasi dan konsep, mulai yang modernis-konvensional hingga terutama yang postmodernis-poststrukturalis saya selipkan di mata kuliah pegangan saya, yakni “Metodologi Riset Terapan dan Bisnis Pariwisata” selain “Analisis Penerapan Green Tourism pada Bisnis” meskipun tidak dalam bahasa yang vulgar cultural studies. Dikatakan demikian karena pada dasarnya, fenomena pariwisata di mana pun cenderung postmodern, yakni perkawinan entitas modernitas gaya hidup dan realitas ekspresif lokal dalam tradisi, ritual, keindahan, seni dan estetika, serta keunikan dan autentisitas. Sederhananya, turisme adalah representasi bertemunya Barat dan Timur, turis dan manusia setempat, kekuatan uang dan daya tarik turistik (telusuri juga Dean McCannell dalam The Tourist: A New Theory of the Leisure Class). Khusus untuk kasus Bali, antropolog Philip Frick McKean beberapa dasawarsa lalu menyebutnya sebagai terjadinya struktur kesepadanan parsial: memberi kepuasan estetik dan menerima kepuasan ekonomi.
Menulis (kabar) ini ketika saya sudah agak jauh di luar kajian budaya, saya jadi ber-refleksi tentang kajian budaya di mana saya pernah begitu lama menjadi “tawanan”-nya. Tentu saya ingin mengatakan bahwa pengalaman kajian budaya adalah pengalaman intelektual yang sangat indah tetapi paling misterius saya rasakan dalam perjalanan hidup saya. Ini jenis bidang ilmu yang sangat sulit didefinisikan. Bahkan, mungkin juga tidak perlu didefinisikan alih-alih gagal atau salah mendefinisikan atau mau tiba dalam debat kusir tak berkesudahan. Semakin didalami, ia kerap bertabrakan dengan premis-premis objektif-ilmiah ilmu-ilmu (modern). Ini kurang tersadari bila kita hanya masuk setengah-setengah ke dalamnya.
Jangan lupa ada rangkaian paradigma delegitimasi (de-, kontra-, dan sebagainya) di dalam tubuh kajian budaya. Istilahnya, memasuki kajian budaya bukan mempelajari kebudayaan (sebagaimana pikiran/pandangan orang pada umumnya) tetapi mempelajari sub-sub-budaya, bahkan kontra-budaya (sila baca, di antaranya, Francis Mulhern dalam Culture/Metaculture). Melalui kajian budaya, tiba-tiba kita menemukan bahwa kita hidup dalam belenggu hegemoni, bahkan dalam semua aspek kehidupan, yang harus “dibongkar” ketika kita mengaku pengkaji budaya dalam pengertian yang sebenarnya, setidaknya bila mengacu pada ilmuwan/filsuf/postmodernis tertentu. Kalimat yang membuat saya tidak habis pikir, “semakin dilembagakan semakin tidak kajian budaya”. Pertanyaan pun muncul, inikah bentuk language game kajian budaya? Inikah permainan bebas tanda?
Banyak yang tidak menyadari bahwa objektivitas kajian budaya adalah relativitas dari subjektivitas pelakunya dalam menghadapi subjek dan objek studinya. Mbah-nya teori-teori kajian budaya Chris Barker menyebutnya: posisionalitas. Itulah sebabnya, di banyak momen, setiap pengkaji budaya harus masuk secara sangat kritis, pada sesuatu yang ditelitinya. Di sinilah, mungkin lewat participant-observation atau ragam metodis lainnya, kajian budaya mempraksis (praxis). Batas dirinya, yakni antara peneliti dan seorang “politik” atau tepatnya pejuang kehidupan dan kemanusiaan begitu tipis.
Clifford Geertz sudah sangat lama dalam karyanya menyebut “kehalusan perdebatan” tetapi saya kurang tahu bila istilah ini cocok (atau tidak) untuk banyaknya perdebatan dalam melakukan dan/atau membaca kajian budaya. Barker mewanti-wanti “kajian budaya adalah kajian budaya dalam versi tertentu”. Menariknya lagi, tetapi tetap membingungkan, pada pengantar buku Cultural Studies Theory and Practice, ia menulis bahwa dalam berkajian budaya ia sendiri tidak melakukan/menulis dalam satu bahasa atau satu versi.
Seni Merancang-Mengelola Program Studi
Terhitung sejak 1997, ternyata sudah begitu lama saya intens menekuni kajian budaya. Awal tahun 2018 Politeknik Negeri Bali memanggil saya karena kampus berencana membentuk program magister. Saya pun diminta menjadi Koordinator Pendirian Program Magister Terapan Pariwisata. Ketika di akhir tahun tersebut SK pendiriannya ke luar, saya langsung dijadikan Kaprodinya. Singkat cerita,
Prodi ini—kata orang—tergolong sukses dengan mahasiswanya datang dari berbagai wilayah di Indonesia (dan tahun ini direncanakan ada beberapa dari luar negeri). Hampir separuh mahasiswa S2 ini adalah GM dan direktur industri pariwisata di Bali dan luar Bali. Beberapa mahasiswa melanjutkan double-degree-nya di Perancis. Prodi ini bahkan diperkuat oleh tiga jurnal berkategori internasional yang di aras nasional ber-Sinta 3, 4, dan 5. Tidak mengherankan bila Prodi ini kini terakreditasi BAN-PT dan terakreditasi internasional oleh sebuah lembaga yang berpusat di Jerman. Maka sejak 2021 saya diberhentikan menjadi Kaprodi S2 untuk kemudian langsung ditugaskan sebagai Koordinator Pendirian Program Doktor Terapan Pariwisata.
Karena beberapa tahun terakhir saya mengelola program studi di mana magister terapan ini nota bene pendidikan vokasional, saya banyak berinteraksi dengan stakeholder (berbagai komponen industri pariwisata) untuk membangun ekosistem Prodi dan sosok keilmuan terapannya yang tangguh tetapi agile dan bermasa depan. Kurikulum Prodi dibangun bersama-sama stakeholder. Bahkan, GM-GM dan direktur industri pariwisata berkualifikasi minimal magister diberikan kesempatan mengajar empat kali dari 16 pertemuan dalam mata-mata kuliah inti. Mahasiswa boleh memilih antara membuat riset terapan yang benar-benar problem-based atau membuat projek bisnis pariwisata lengkap dengan tesisnya yang analitis dan bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Buku yang melegitimasi sosok Prodi Magister Terapan Perencanaan Pariwisata (Matrappar) Politeknik Negeri Bali.
Di program studi ini saya suntuk mendalami dan memastikan body of knowledge keilmuan dari “jiwa” Prodi, profil lulusan, pasar (mahasiswa aktual dan potensial), capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, struktur mata kuliah, capaian pembelajaran mata kuliah, metode pembelajaran, kompetensi dan kelayakan dosen, keberterimaan pasar (pasar pengguna) terhadap lulusan, kesinambungan dan masa depan Prodi, dan sebagainya, yang disesuaikan dengan KKNI level 8 (terapan) yang menekankan sifat multi- dan interdisiplinnya (Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang SNPT).
Bersama team, saya bahkan memikirkan secara matang seperti apa positioning (= “The Schoolf of Managers in Tourism”), bentuk jenama (brand), dan gaya strategi marketing-nya di dunia serbadigital termasuk bagaimana menguasai panggung media sosial dengan tampilan-tampilan teks, flyer, teaser, video, dan jingle (lagu) yang semuanya, dalam bahasa anak muda hari ini, instagrammable. Promosi dan marketing secara nyata didukung proses penguatan image produk melalui kegiatan seminar internasional tahunan, yang sebenarnya merupakan praktik mata kuliah (“Penulisan Ilmiah Terapan dan Seminar Internasional Pariwisata”), bernama Green Tourism International Seminar & Entrepreneurship Expo (gtisee.pnb.ac.id).
Ketika saya menulis (kabar) ini, karena saya dan beberapa teman di kampus baru saja menyelesaikan kurikulum doktor terapan pariwisata, saya langsung teringat sosok S3 Kajian Budaya Unud mulai dari body of knowledge hingga keharusan akan transidisiplinnya (Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang SNPT). Menurut saya, betapa pun maju dan berkembangnya Prodi ini (hampir 1000 doktor sudah tercetak) tetap saja ia harus rajin melihat kembali kemantapan sistem dan perangkat pendidikan, mulai dari body of knowledge hingga kontekstualitasnya dalam ruang dan waktu yang ada, agar jalan input-process-output-outcome pembelajarannya sebagai KKNI level 9 berlangsung smooth dan tepat sasaran. Bahkan menurut saya tidak hanya transdisiplin sebagaimana tuntutan SNPT dan KKNI, kajian budaya di tingkat doktor semestinya akrab dengan eksplorasi dirinya sebagai postdisiplin: bukankah kajian budaya banyak bermain dan bermain-main di wilayah post- yang secara fitrah membedakannya dengan ilmu-ilmu lainnya.
Bekal teori kritis saja, sebagaimana banyak diutarakan, sungguh tidak cukup. Cultural studies saya kira wajib bergelut dan berjuang di wilayah itu kecuali kalau mau menjadi study of culture… ***
Institutsi: Program Magister Terapan Perencanaan Pariwisata, Politeknik Negeri Bali
Link: https://matrappar.pnb.ac.id/
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA