Kabar Alumni, Dr. Ni Made Ary Widiastini, S.ST.Par., M.Par.: Kajian Budaya dan Akomodasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata

`

Dr. Ni Made Ary Widiastini, S.ST.Par., M.Par.
Angkatan    : Tahun 2012
Afiliasi        : Universitas Pendidikan Ganesha
Disertasi    : Pedagang Acung Sebagai Basis Ekonomi Keluarga di Desa Batur Tengah, Kawasan Pariwisata Kintamani, Bali

Memilih kuliah di Kajian Budaya, tentu bukan tanpa tujuan dan pertimbangan, juga bukan tanpa arah yang jelas. Memantapkan diri untuk mematangkan pemahaman tentang pariwisata dengan segala kompleksitasnya, tentu membutuhkan wawasan yang lebih luas dan mendalam.


Mendapat bimbingan  awal tentang pariwisata dan berbagai pendekatannya oleh seorang guru besar yakni Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. , membuat diri yakin untuk melangkahkan kaki mendaftar kuliah di Program Studi Program Doktoral Kajian Budaya.


Mendampingi wisata virtual kelompok perajin bambu.

Wajib Baca Buku Supertebal, Pusing


Hal pertama yang disarankan sebelum mendaftar kuliah di Program Studi Program Doktoral Kajian Budaya adalah membaca buku, buku yang cukup membuat hati ini menolak untuk membacanya. Budaya membaca artikel saat itu (tahun 2012) masih rendah, masih lebih memilih membaca buku.


Jika boleh memilih, saat itu, lebih baik membaca buku yang tidak tebal, dan khusus tentang pariwisata dan perhotelan. Namun, demi mencapai tujuan, akhirnya mulai membuka lembar per lembar buku yang diberikan oleh Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA. yang sebenarnya telah memberikan bimbingan untuk karya S1 dan S2. “Sekarang ini beda, teori juga beda, kuliah di Kajian Budaya itu menggunakan teori kritis,” tuturnya mengingatkan.


Masih ingat saat otak sulit memahami apa itu teori kritis. Berkali-kali kata basestructure dan superstructure hadir di setiap diskusi tentang teori kritis. “Pusing, ga paham”.
Entah bagaimana cara membaca buku-buku tebal itu. Karl Marx, Bourdieu, Gramsci, dan masih banyak lagi nama -nama yang tidak kukenal harus kudengar. “Hum… , kuliah sudah beberapa minggu lagi, sementara otak belum mampu mencerna sempurna tentang sosok teori kritis”.


Riset bersama LIPI, AAKI, Univ Garut dan Univ Riau

Mulai dari Sebuah Realitas

Kuliah dimulai bulan September. Saat itu, kelas dibagi dua, kelas pagi dan kelas sore. Saya ikut kelas pagi, jumlahnya 12 orang, bertemu di tahun 2012. Ada berbagai latar belakang pendidikan dalam satu kelas, pariwisata, seni, sejarah, politik, hingga ahli jamu dan dukun.


Suatu saat memilih untuk lebih lama melihat aktivitas orang di berbagai tempat. Di kampus, di desa, di tempat makan, di rumah, hingga di suatu destinasi. Adanya banyak ragam pakaian yang digunakan orang di ruang-ruang tersebut. Ada banyak gaya bicara di tempat-tempat yang ku datangi. Juga, ada berbagai cara orang untuk menempatkan posisi dirinya di suatu ruang dalam suatu waktu.


Di situlah baru aku mulai memahami istilah-istilah yang kudengar sebelum kuliah dan di awal-awal kuliah. Baru mulai kupahami substruktur, suprastruktur, produksi makna, Derrida, Bourdieu, Gramsci, Foucault, dan lainnya yang ternyata bisa dimengerti dengan mengawalinya dari sebuah realitas.

Menulis tentang Pedagang Acung


Memilih menulis tentang pedagang acung, bukanlah sekedar memenuhi syarat studi yang wajib membuat disertasi. Melihat pedagang acung yang sering kali mendapat kekerasan non-fisik, bahkan dianggap patologi sosial, membuat diri ini tertarik untuk memahami alasan maknawi masyarakat di Desa Batur Tengah, Kintamani, Bangli, memilih profesinya sebagai pedagang acung.


Bahkan, masih ditekuni hingga saat ini. Begitupula entitas perempuannya, yang mana, dari keseluruhan pedagang acung yang ada, sebagian besar adalah perempuan, entah itu usia anak anak, remaja, dewasa, bahkan ada yang sudah tua.


Saya sering berkunjung ke Desa Batur Tengah, Kabupaten Bangli yang dikenal dengan Desa Penelokan Kintamani. Maklum, karena PP Singaraja–Gianyar sejak tahun 2006, maka lokasi itu sering saya lalui. Sering pula saya singgah di sana, entah untuk menikmati suasana sejuk, membeli bakso dan kopi, atau sengaja cari baju jika ada uang ekstra.


Selama ini yang diceritakan dalam promosi adalah tentang Gunung Batur dan lansekap alamnya yang indah, tersedianya restoran yang di pinggir jurang yang menyuguhkan pemandangan yang indah secara langsung kepada wisatawan. Tetapi, orang tidak melihat sesuatu yang unik di tempat itu, yakni adanya perempuan hebat yang jumlahnya sangat banyak.


Mereka adalah perempuan pedagang acung yang justru dianggap sebagai patologi sosial. Bahkan para guide seringkali menceritakan hal-hal buruk tentang perempuan pedagang acung tersebut, yang justru menyebabkan wisatawan benci dengan kondisi mereka yang cenderung memaksa ketika berjualan.



Perempuan Pedagang Acung di Desa Batur, Kintamani

Perempuan di desa ini mengacung bukanlah hal yang baru. Secara historis mereka memang pedagang. Memiliki kemampuannya sebagai petani, peternak dan pedagang dari generasi ke generasi, untuk mempertahankan hidup, membuat masyarakat di Desa Batur Tengah terbiasa untuk berjualan. Termasuk perempuannya.


Pariwisata yang hadir di desa tersebut pun disambut baik oleh masyarakat setempat, termasuk oleh perempuan, para ibu-ibu yang dengan tegar menghadapi hinaan pemandu wisata yang kerap kali melakukan kekerasan non fisik tanpa tahu alasan mereka mengacung.
Saya sendiri bukan sepuluh kali melewati daerah itu dan berhenti. Tetapi sudah berpuluh kali datang, duduk, membeli barang yang di jual, dan bertanya tentang kehidupannya.


Ada satu hal yang menarik yang ternyata tidak banyak orang tahu. Mereka adalah pejuang keluarga, materi dan non materiil. Berdagang itu adalah tradisi mereka, kehidupan mereka. Pagi baru bangun, mereka membuatkan kopi suami mereka, mengurus anak anak mereka. Selanjutnya yang punya ladang, akan bertani. Sementara yang punya ternak, akan mengurus ternak. Letih mereka tidak mereka gunakan untuk tidur, tetapi untuk berdagang.


Mengapa? Saat mereka berdagang, mereka tidak saja mampu mengumpulkan sedikit uang yang mereka bisa gunakan untuk membeli lauk sehari hari. Ya, sebagai petani dan memiliki suami yang mayoritas suka berjudi, mereka, para perempuan itu harus pandai menghasilkan uang tambahan. Namun, lebih dari itu, di saat berdagang mereka melakukan interaksi dengan orang yang di kenal yakni teman sesama pedagang acung, maupun orang yang baru dikenalnya, guide dan wisatawan.


Sebagaimana tradisi yang telah mereka tekuni dari zaman dahulu. Hummm, masihkah kita hanya melihat panorama yang indah? Atau mengetahui perempuan tegar yang selama ini kita acuhkan? Inilah, Desa Batur Tengah, Kintamani-Bali.

Hibah PPDM dan Riset dengan Mahasiswa

Berbekal teori Kajian Budaya, memampukan diri ini untuk memahami situasi di masyarakat. Ada banyak permasalahan yang ada di desa wisata, namun tentu tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan- persoalan yang ada tanpa dibarengi dengan kemampuan diri dalam mengelola diri.


Diskusi dengan Ketua Pokdarwis Desa Sidetapa

Pada konteks ini, teori-teori yang di dapat selama kuliah, membantu saya untuk memahami makna tindakan seseorang, meskipun terkadang masih memerlukan pendalaman lagi. Melibatkan peran mahasiswa dalam memberikan pendampingan kepada masyarakat, memudahkan implementasi program PPDM. “Apa je kel baange jak dosenne ne” (Apa ya yang akan diberikan oleh dosen ini?) .


Kalimat ketus yang terdengar ketika di sebuah ruangan, di awal pertemuan sebelum kegiatan pendampingan dimulai. Sikap penolakan yang membuat saya memilih pulang segera, mengatur waktu kegiatan, dan berpikir bagaimana cara terbaik yang dapat dilakukan agar kegiatan PPDM dapat terlaksana dengan baik. Ada sebuah kutipan dari Ali Bin Abi Thalib “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak akan percaya itu”.


Membuat Video Tutorial Menganyam

Memahami situasi yang sulit, sementara program telah disetujui, membuat saya cukup ekstra mengerahkan pikiran untuk menentukan cara terbaik yang dapat dilakukan agar program berjalan sesuai harapan dan bermanfaat. Beruntung sejak mahasiswa sering dilibatkan dosen untuk ikut kerja harian, kemudian sejak menjadi dosen sering mengajak mahasiswa terlibat dalam kegiatan penelitian, akhirnya saya memutuskan untuk merancang program kerja dengan mahasiswa, yang saat ini tim tersebut bernama Bagus Project.


Bersama mereka, program kerja di rancang, di implementasikan dan di evaluasi bersama. Menyentuhkan mahasiswa dengan masyarakat pada awal hingga pertengahan program, ternyata membantu saya dalam merealisasikan program pendampingan dengan baik. Di situlah saya memahami, ada jarak yang sangat besar dibuat oleh masyarakat ketika saya datang, entah, mungkin ada pengalaman masa lampau?


Rektor Memberikan Penghargaan Sebagai Pelaksana Pengabdian Terbaik Tahun 2021

Membangun dua kamar yang layak huni bagi wisatawan, memperbaiki jalur ke air terjun, mengembangkan produk wisata, dan melaksanakan berbagai pelatihan pun terlaksana dengan baik. Antusias mereka untuk terlibat aktif dalam kegiatan pendampingan yang dirancang sangat baik. Respon dan responsibility terhadap program terjadi dengan baik.


Bahkan, pimpinan lembaga memberikan apresiasi luar biasa kepada saya dengan menetapkan saya sebagai dosen dengan program pengabdian kepada masyarakat terbaik di tahun 2021.

Teori Sisa


Belajar tentang pariwisata tentunya harus memahami tentang keberlanjutan. Kuliah di Kajian Budaya, saya menemukan teori keberlanjutan yang sederhana, sekaligus sangat mendalam. “Apa yang harus tersisa, ya sisakanlah!”.  


Diskusi dengan pelaku UMKM Kabupaten Buleleng.

Dalam teori tersebut Scott (1981) menegaskan bahwa batu ujian bagi petani adalah apa yang tersisa, bukan seberapa banyak yang diambil. Pada konteks ini, keberlanjutan dapat terjadi jika apa yang tersisa masih memampukan para petani untuk bertahan hidup.


Terkait tentang moral ekonomi petani yang dikembangkan oleh Scott (1981) bahwa ketika kebutuhan masyarakat tidak dihormati, baik oleh pemerintah maupun golongan elit serta melanggar norma-norma yang dianut oleh kaum petani, maka hal yang wajar jika pada akhirnya timbul kemasygulan dan perlawanan.


Terdapat prinsip safety first yang dianut oleh petani, yang juga sesungguhnya, disadari atau tidak, setiap manusia, apa pun profesinya, menerapkan prinsip tersebut. Prinsip dahulukan selamat yakni dengan cara menghindari risiko merupakan sikap petani tradisional yang dikemukakan oleh Scott tentang tindakan petani yang tidak ingin mengambil risiko dalam memilih tanaman yang akan ditanam.


Bagi petani segala bentuk risiko, sekecil apapun risiko yang akan diterimanya, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan subsistensinya.


Manusia pada umumnya, cenderung ingin menghindari resiko, cenderung ingin hidupnya tetap damai, aman dan tentram. Teori Scott senantiasa hadir dalam tulisan-tulisan saya, di mana konsep keberlanjutan itu sesungguhnya adalah mempertahankan apa yang harus tersisa untuk sebuah tujuan, dalam suatu waktu tertentu, agar alam, budaya, dan manusia mampu hidup damai, tentram dan aman, terpenuhi kebutuhannya, baik primer, sekunder maupun tersier.

Belajar di Kajian Budaya, banyak hal yang dipelajari dan didapat. Tidak hanya mendapatkan penjelasan teori yang ternyata senantiasa teraplikasi pada setiap tindakan manusia, namun juga pertemanan yang sangat luas. Kuliah di Kajian Budaya, tentu banyak peluang sekaligus rintangan yang dihadapi, bahkan di saat-saat menyelesaikan studi tepatnya bulan Agustus 2016.


Terima kasih kepada Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. atas bimbingan awalnya, terima kasih pembimbing saya yang selalu sabar sekaligus disiplin dalam membimbing Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A , Prof. Dr. I Nengah Dasi Astawa, M.Si., Dr. Gede Mudana, M.Si., dosen di Kajian Budaya yang telah memperkenalkan teori -teori kritis dan pegawai yang selalu membantu sebelum, selama bahkan pasca studi hingga saat ini.


Juga teman-teman dengan berbagai latar pendidikan, yang tentunya selalu mampu melengkapi diskusi di saat kuliah hingga saat ini dalam grup Kajibu’12. Terima kasih atas kesempatan studi yang diberikan dan ilmu yang di dapat bermanfaat bagi saya, baik sebagai resep bertindak dalam hidup, maupun menulis.


Email: ary.widiastini@gmail.com