Kabar Alumni, Prof. Dr. Abdul Wahid, M.Ag., M.Pd.: Ilmu "Total Football" Model Kajian Budaya

`

Prof. Dr. Abdul Wahid, M.Ag., M.Pd.

Angkatan: 2010 (-2016); Afiliasi: Universitas Islam Negeri Mataram

Disertasi: Praktik Budaya Raju pada Masyarakat Pluralistik Mbawa di Bima, Nusa Tenggara Barat 


Kisah akademik saya tergolong zig-zag, jika bukan berliku. Baik bidang keilmuan maupun cara menempuhnya. 


Tapi, itu sesuai belaka dengan karakter pribadi saya. Bukan saya yang menilai. Beberapa teman bilang, bukan Wahid kalau tidak berlika-liku.



Prof. Abdul Wahid bersama istri, bersamaan dikukuhkan sebagai profesor. 


Saya memasuki kajian budaya dengan basis studi Islam (Islamic studies). Di jenjang sarjana saya menekuni sastra Arab di UIN Surabaya. 


Pada jenjang magister di UIN Yogyakarta, saya jajaki filsafat Islam yang lebih condong kepada sosiologi atau perbandingan agama. 


Saya juga menekuni social studies untuk magister kedua di UNY Yogyakarta. Benar-benar bidang keilmuan yang campur aduk.


Riang Gembira Mendayung Ilmu

Mendayung dari satu ilmu ke ilmu lain saya lakukan dengan riang gembira. Tanpa beban. Padahal itu saat-saat gencarnya wacana linearitas ilmu yang banyak merisaukan pelaku/pengembang ilmu. 


Saya tidak peduli. Pernah ada skeptisisme untuk saya, tapi saya respon dengan sebuah kredo intelektual yang saya anut: “Ilmu bukan untuk ilmu itu sendiri, ilmu adalah perangkat untuk mengubah tatanan hidup”. Maka ia harus grinta, fleksibel dan lincah.


Saya terbantu oleh gencarnya wacana integrasi dan interkoneksi ilmu di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI). Tapi, saat itu saya justru sudah intens ke lapangan Cultural Studies di Universitas Udayana, Bali. 



Bersama istri.


Ilmu Cultural Studies aneh di kalangan PTKI. Itu ilmu kiri, karenanya terkesan garang. Tapi, juga ‘banci’ karena tidak jelas kelaminnya. Namun, itulah model ilmu yang saya cari-cari. Saya menyukai karakternya yang lentur dan ekspansif, juga ‘anti disiplin’.


Seperti dalam sepak bola, ilmu model ini cocok untuk penerapan ‘total football’. 


Bagi saya, di dalam karakter ilmu seperti itu ada senjata ampuh bagi situasi sosial-budaya kontemporer yang kompleks. Ini cocok dengan penyangkalan dan pengukuhan yang saya buat, bahwa ilmu bukan sekedar menjelaskan masyarakat, tapi “mengubah masyarakat dengan penjelasan ilmiah”.


Belajar Banyak Hal

Di Kajian Budaya Unud, saya mulai belajar banyak hal. Merapikan kembali ilmu linguistik yang pernah saya kenyam di jenjang S1. Mulai menengok semiotika untuk digandeng dengan hermeneutika yang saya dapatkan di UIN. 


Saya juga mulai berkenalan dengan teori-teori kritis (critical theories), Mazhab Frankfurt dan Mazhab Birmingham. Lalu, menyeberang ke pemikir-pemikir post-modernisme-post strukturalisme. 


Tapi, saya tetap rindu dan punya cara untuk “balik padepokan” kepada para pemikir berpengaruh bagi studi Islam di Indonesia, terutama Sari’ati, Mutahhari, Nasr, Gus Dur, Cak Nur, Kuntowijoyo, dan Amin Abdullah.


Ulang-alik ini ternyata telah merentang jembatan bagi saya menuju antropologi, tepatnya antropologi agama. Beruntung saya punya teman diskusi yang cukup intens di bidang ini, seperti Phillip Winn dan Adlin Sila yang pakar di bidang ini untuk Indonesia timur.



Bersama James Fox di Australia.


Seteguk dua teguk saya juga bersama teman-teman PIESer minum dari mata air Mbah Jim (James Fox), suhu antropologi Austronesia dari Australian National University (ANU). Sungguh, lingkaran yang saya libati berperan mengarahkan saya ke lapangan antropologi agama. Tepatnya, antropologi Islam.


Praktik Agama dan Budaya

Saya coba terapkan perspektif antropologi Islam itu untuk mendalami praktik budaya dan keagamaan, ritual dan praktik mistisisme. Menyelami dunia batin dan meraba kosmologi masyarakat Muslim, terutama yang rentan.  


Beberapa penelitian dalam aspek ini coba saya kembangkan, secara sendiri dan kolaborasi. Cara terakhir terutama saya lakukan dengan istri saya, Wardatun. 


Beberapa penilitian kami rangkai bersama. Untuk subjek dia, hukum keluarga Islam, saya susupkan perspektif antropologi dan kajian budaya. Supaya hasilnya berisi dan bernuansa. 


Perpaduan itu pada titik tertentu kami harapkan memunculkan konsep yang bisa digunakan untuk melihat masyarakat Muslim yang kompleks. 


Konsep Heterarki

Untuk saat ini kami konsen dengan konsep heterarki dan aspek quasi hegemoni dan kolektif agensi di dalamnya. Ini bersahutan dengan konsen kami mengenai relasi dialogis dan setara pada hubungan multikultural. 



Salah satu karya.


Quasi hegemoni itu temuan disertasi saya dari fenomena ritual Dou Mbawa di Bima. Kolektif agensi adalah temuan disertasi Wardatun dalam praktik mahar pernikahan orang Bima.


Saya dan istri menjadikan Bima, tempat lahir kami, sebagai area studi. Ini pilihan sadar belaka, karena area budaya di kawasan Indonesia timur itu understudied. Kami menjadi home antropologists. Di samping menjelaskan fenomena, kami coba giving voice. 




Di tengah mulai banyak peneliti dan etnografer tentang Bima, kami hendak menghadirkan perspektif dari dalam (insider perspectives). Orang bisa membaca bukan hanya rona dan wajah suatu kebudayaan, tetapi juga menyelami dunia batin atau ‘inner beauty’-nya.


Saya yakini, pilihan bidang, area, perspektif dan cara kerja, konsep-konsep yang diangkat, pasti punya implikasi metodologis sekaligus praksis. 


Nanti saja kita lihat. Konsistensi dan disiplin kerja akademik ini masih terus digerakkan. []