Kabar Alumni, Prof. Dr. I Wayan Dana, S.S.T., M. Hum.: Kajian Budaya Membuka Simpul-simpul Sudut Pandang Teoretis
Prof. Dr. I Wayan Dana, S.S.T., M. Hum.
Angkatan : 2005
Afiliasi : Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Disertasi : Paruman Barong di Pura Pucak Padang Dawa Baturiti Tabanan Bali: Perspektif Kajan Budaya
Setelah jeda relatif agak panjang setamat studi magister Program Studi Sejarah (Seni) di UGM tahun tahun 1993, saya memutuskan untuk melanjutan studi S3 di Program Kajian Budaya Unud tahun Akademik 2005/2006.
Kuliah berlangsung lancar dan syukurlah bisa dan rampung relatif cepat tahun 2009.
Studi S3 di Program Kajian Budaya Unud membuka simpul-simpul sudut pandang teoretis tentang suatu objek dengan perspektif kritik sastra, sosiologi, sejarah, politik, estetika, seni, kajian media, dan berbagai bidang lainnya secara multidimensional.
Foto gamatechno.
Di awal memasuki gerbang studi Kajian Budaya ‘rasanya’ seperti mengarungi lautan samudra yang luas penuh tantangan gelombang besar, tiupan angin kencang, tetapi menyenangkan, karena tidak saja memahami seni atau kebudayaan, namun juga menyentuh lika-liku kehidupan sehari-hari manusia.
Dimotivasi Guru, Didukung Teman
Semangat belajar selain termotivasi oleh para guru, juga didukung oleh kehadiran para karyasiswa seangkatan dari berbagai universitas di Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Medan, dan Kalimantan.
Program Studi S3 Kajian Budaya Unud ini mempertemukan insan-insan intelektual yang mampu bekerja sama dalam menimba ilmu pengetahuan dan berkompetisi secara sehat, kritis dan profesional.
Hampir di setiap kelas terbangun argumentasi atau saling ‘adu argumentasi’ dalam mencari solusi permasalahan masing-masing karyasiswa. Kehadiran kelas menjadi hidup, baik dimotori para guru sebagai pemantik pengetahuan maupun para karyasiswa yang mengajukan topik permasalahan tugasnya masing-masing.
Keakraban yang terus-menerus terbina dengan para dosen, mahasiswa dan tendik itu, menjadi kunci saya dapat merampungkan studi doktor, tentu juga atas bimbingan, dukungan, dan tuntunan dari Prof. Dr. I Wayan Dibia, M.A.sebagai Promotot, Prof. Dr. Anak Agung Gde Putra Agung, S.U. sebagai Ko-promotor I, dan Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. sebagai Ko-promotor II. Mereka memberi arahan, motivasi dan dengan kajian kritis untuk mengkaji pesamuan atau paruman atau forum Tapakan Barong di Pura Pucak Padang Dawa, Baturiti Tabanan,Bali: Perspektif Kajian Budaya.
Berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh selama proses studi S3 di Program studi Kajian Budaya Unud, memompa gerak-aktivitas dan energi saya terus terdorong bangkit untuk mengamalkan ilmu, teori-teori kritis yang diterima selama studi, kemudian diemplentasikan dalam dunia akademik dan di lingkungan kehidupan riil masyarakat luas, berlanjut hingga kini.
Paruman barong: Peristiwa Budaya
Paruman atau forum Barong di Pura Pucak Padang Dawa melibatkan barong-barong dan rangda yang memiliki kesalingterkaitan antara satu barong dengan barong lainnya yang dapat dibedakan menjadi empat tipe hubungan berdasarkan (1) barong yang berasal dari satu bahan kayu yang sama; (2) barong yang dibuat berasal dari seorang pematung disebut sangging/undagi; (3) barong yang memperoleh kekuatan magis dari satu tempat pasupati; dan (4) barong yang memiliki kaitan dengan desa penyungsung penyungsung barong.
Barong (Foto: http://jajanbalii.blogspot.com/2018/01/pura-luhur-pucak-padang-dawa.html)
Tempat yang diyakini oleh masyarakat di Bali untuk menjalankan proses pasupati barong salah satunya adalah di Pura Pucak Padang Dawa. Pura ini dipercaya oleh warga masyarakat se Bali Tengah/Selatan sebagai tempat pemujaan ?iva Pasupati yang juga menganugrahkan berbagai macam taksu yang terpancar bagi yang menerimanya. Bagi masyarakat penyungsung barong yang memohon pasupati barong di Pura Pucak Padang Dawa, maka setiap pujawali di pura ini barong-barong dan rangda sungsungan mereka, diarak mengikuti Paruman Barong.
Warga masyarakat Bali termasuk para senimannya melakukan yadnya lewat berbagai aktivitas kesenian. Beryadnya dan berkesenian menjadi satu kesatuan ungkapan yang tidak dapat dipisahkan dalam kepentingan pelaksanaan yadnya. Persembahan kepada Sang Pencipta diwujudkan melalui berbagai media karya seni menjadi bagian utama kultur masyarakat Hindu di Bali.
Melakukan berbagai aktivitas keagamaan dengan ekspresi seni dalam pelaksanaan yadnya (korban suci) adalah ungkapan yang menuntun manusia agar lebih terfokus pada bhakti dan karma marga.
Kesenian Barong sebagai seni wali berada dalam lingkup tata aturan yang mengikat sejak proses pembuatannya, penyimpanan, hingga dipertunjukkan berlaku proses sakralisasi. Oleh karena itu, barong dimaknai sebagai simbol pelindung yang menjaga wilayah masyarakat penyungsung. Di samping itu, barong juga dianggap sebagai simbol lingga sthana (tahta) dewa yang dipuja.
Dalam kehidupan di Bali lazim disebut milik (du?) atau petapakan dewata. Sebagai du? para dewata, maka barong sangat dihormati dan disebut dengan Ratu Gede Dalem, Ratu Mas, Ratu Sakti, Ratu Ngurah, Ratu Ngurah Sakti, dan lainnya tergantung tradisi budaya serta kerpercayaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, paruman menjadi bagian dari peristiwa budaya, mencakup ritual seni dan seni ritual.
Pertama, pelaksanaan Paruman Barong melibatkan masyarakat luas, sehingga hadir budaya yang sangat kompleks datang dari lima wilayah budaya lokal meliputi Kabupaten (Tabanan, Badung, Negara/Jembrana, Gianyar, dan Bangli).
Kedua, aktivitas Paruman Barong merupakan peristiwa yang berjalan secara turun-temurun, paruman yang hidup secara dinamis, berkembang menjadi peristiwa silang budaya dan seni yang melahirkan rasa saling menghormati perbedaan di antara warga masyarakat penyungsung barong.
Ketiga, Paruman Barong di Pura Pucak Padang Dawa merupakan pelaksanaan terbesar di Bali yang menggunakan barong sebagai media utama dalam kegiatan upacara. Untuk menggelorakan terus spirit beryadnya, ajaran-ajaran agama dibumikan dalam tata hidup, sikap hidup, cara hidup, seperti salah satunya diwujudkan dalam pelaksanaan Paruman Barong di Pura Pucak Padang Dawa.
Hal ini menjadi menarik untuk dikaji, karena terbesar, unik, dan masih menjadi satu konstelasi sosial-budaya yang kokoh di kalangan masyarakat Bali hingga sekarang.
Terima Kasih Atas Bekal Ilmu Pengetahuan
Pada kesempatan yang sangat baik ini, dari lubuk hati yang paling dalam disampaikan ucapan terima kasih disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para dosen di Program doktor Kajian Budaya UNUD., khususnya Prof. Dr. I Wayan Dibia, M.A., Prof. Dr. Anak Agung Gde Putra Agung, S.U., Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. dan para Guru Besar lainnya yang telah memberikan transfer ilmu pengetahuannya.
Foto: Internet
Melalui mereka membukakan cakrawala dan pandangan-pandangan kritis dalam Kajian Budaya. Para guru ini memberikan bekal ilmu pengetahuan yang mengalir bagai sumber air kehidupan selama proses pendidikan hingga kini memotivasi untuk terus berkarya dalam bidang ilmu seni dan budaya secara analitik, kritis, dan metodologis.
Gelar Seni, Riset, Guru Besar, dan Karya Publikasi
Atas arahan, bimbingan, dan dukungan yang mengalir dari para guru itu dan atas aneugrah Ida Sanghyang Widi Wasa, maka pada tanggal 1 April 2010, saya memperoleh SK jabatan akademik Profesor/ Guru Besar dalam bidang ilmu Sejarah Seni. Sejak tahun 2010 itu, saya juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti program gelar seni dan workshop di tingkat nasional dan internasional, seperti di tahun 2010 ke Taiwan, Thailand, dan Kamboja.
Pada tahun 2011, saya mengikuti program tersebut di ke Singapura, Sri Lanka, dan Bejing, kemudian tahun 2012 Malaysia, India, dan Kanada. Juga merambah ke California tahun 2013, Hongaria tahun 2016, Taipei dan Shanghai China tahun 2017, serta Shenzhen China di tahun 2018.
Selain melakukan gelar seni, beberapa hasil penelitian yang sempat terpublikasi antara lain: Tari Leko Sibanggede Yang Erotis dan Etis (2010), Sumerta: Power dan Spiritual (2010), dan Tari: Seni Pertunjukan Sakral dan Hiburan (2011), Parangtritis Multi Obyek Wisata (2012), Kraton Ratu Boko: Budaya dan Ekologi (2013), Keraton Pura Pakualaman Yogyakarta: Budaya dan Ekologi (2014), Budaya dan Identitas: Memaknai Tradisi dan Perubahan (2015), dan Potret Sanggar-Sanggar Seni sebagai Pusat Pengembangan Kesenian Belitung (2016); Paruman Barong di Pura Pucak Padangdawa Baturiti Tabanan: Perspektif Kajian Budaya (2018).
Di tahun 2019 melaksanaan penelitian dan terbit di Jurnal Mudra dengan judul “ Legong dan Kebyar Strategi Penciptaan Tari” (2020); penelitian berjudul “Konservasi Seni Topeng-Topeng Klasik Di Museum Sonobudoyo Yogyakarta”, dan tahun 2021 menulis di Jurnal Harmonia dari hasil riset, berjudul Baris Memedi Dance in Jatiluwih Village Tabanan Bali: A Strategy to Preserve Tradisional Arts serta Perjalanan Tari di Indonesia dari Masa Ke Masa (2021).
Tahun 2022 ini melaksanakan penelitian seni berjudul “Topeng Bondres Celekontong Mas: Pergeseran Budaya Tradisional ke Budaya Populer”. Hingga saat ini secara rutin menulis artikel di Jurnal seni dan budaya serta mengadakan penelitian lapangan di beberapa daerah antara lain di Bali, Lombok (NTB), Banyuwangi dan Madura (Jawa Timur), Magelang (Jawa Tengah), Gunung Kidul, Sleman, dan Kulon Progo (DIY), Indramayu (Jawa Barat), Lampung, Belitung, dan Batam (Sumatra), Kesenian Dayak (Kalimatan Barat dan Timur), serta Makasar (Sulawesi Selatan).
Akhirnya, pada kesempatan yang sangat baik ini saya menghaturkan rasa terima kasih yang tulus dari lubuk hati terdalam kepada semua pihak yang namanya tidak disebutkan satu per satu di sini. Kepada mereka semua telah mendukung sejak awal proses pendidikan hingga penyelesaian studi dan sampai pada jenjang yang kini saya jalankan. Sekali lagi terima kasih, matur suksma dan matur nuwun.
Yogyakarta, 6 April 2022
Hormat saya,
Prof. Dr.I Wayan Dana, S.S.T., M. Hum.
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA