Narasi Ke-3 Kajian Budaya Bahas Pelacuran dalam Puisi Jawa Modern dan Parodi Perbedaan Kelas dalam Film Korea
Evelyn Yang, narasumber presentasi dari Korea Selatan.
Seminar Seri Nasional Mahasiswa (Narasi) Kajian Budaya yang digelar bersama Prodi S3 Kajian Budaya FIB Unud dan FIB UNS Solo Seri ke-3 berlangsung lancar secara daring, Jumat, 17 Mei 2024.
Berlangsung 2,5 jam, Narasi Kajian Budaya ke-3 ini menampilkan dua pembicara. Pertama, Ucik Fuadhiyah, mahasiswa Prodi S3 Kajian Budaya UNS Solo dengan makalah “Donyane Pelanyah dalam Teks Puisi Jawa Modern: Perempuan dalam Bingkai Prostitusi”.
Kedua, Evelyn Yang, mahasiswa S3 Prodi S3 Kajian Budaya FIB Unud dengan makalah berjudul “Drakor tapi Oscar: Parodi Perbedaan Kelas dalam Film Korea ‘Parasite’ ”.
Seminar diikuti hampir 56 peserta terdiri dari mahasiswa dan dosen dari kedua prodi dan universitas lain di Indonesia. Acara dipandu oleh Ida Bagus Prajna Yogi, mahasiswa S3 Prodi S3 Kajian Budaya FIB Unud.
Sebelum acara dimulai, koprodi Kajian Budaya Unud dan UNS memberikan pengantar singkat sebagai pembuka.
Dalam pengantarnya, Koprodi S3 Kajian Budaya FIB UNS, Dra. S.K. Habsari, M. Hum., Ph.D. menyampaikan rasa gembira karena kerja sama kedua prodi berjalan lancar, ditandai dengan Narasi Kajian Budaya yang sudah berlangsung tiga kali.
“Kami bertekad untuk terus melaksanakan, sekali sebulan. Senang melihat presentasi hasil riset mahasiswa bidang Kajian Budaya,” ujar Habsari.
Habsari juga menyampaikan terima kasih kepada Asosiasi Kajian Budaya Indonesia (AKBI) atas dukungan untuk acara Narasi Kajian Budaya.
Dalam sambutan pengantarnya, Koprodi S3 Kajian Budaya Unud, Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ph.D., menyampaikan keragaman topik aktual yang disampaikan mahasiswa menunjukkan Kajian Budaya ilmu multidisiplin yang mampu memaknai berbagai fenomena di masyarakat dengan kritis.
“Topik erotisme dalam sastra dan perbedaan kelas dalam film Korea peraih piala Oscar adalah contoh pemaknaan Kajian Budaya yang menarik,” ujar Prof. Darma.
Bagi para mahasiswa yang mendapat dan memanfaatkan kesempatan presentasi, seminar seri mahasiswa ini memberikannya peluang untuk merumuskan hasil riset dan pemikirannya sehingga mudah menuliskan dalam disertasi.
“Terima kasih atas masukan yang luar biasa, atas pertanyaan yang luar biasa, memberikan tantangan baru dan memperluas wawasan,” ujar Ucik Fuadhiyah.
“Sungguh presentasi ini membantu saya mengatur pikiran. Terima kasih atas kesempatannya,” ujar Evelyn Yang, yang presentasi dari Seoul, Korea Selatan.
Moderator Ida Bagus Prajna Yogi.
Tematik Prostitusi
Ucik dalam presentasinya membahas tematik prostitusi atau seksualitas dalam guritan atau puisi Jawa modern. Dua karya yang dibahas adalah puisi berjudul “Balada Juwariyah Kembang Pelanyah” karya Poer Adhie Prawoto (1981) dan “Wayah Pensiyun” karya Rini Tri Puspohardini (2012).
Puisi “Balada Juwariyah Kembang Pelanyah” karya Poer Adhie Prawoto dimuat dalam Guritan; Antologi Puisi Jawa Moderen (1940-1980) yang dihimpun oleh Suripan Sadi Hutomo, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, terbit tahun 1985.
Ucik Fuadhiyah
Puisi “Wayah Pensiyun” karya Rini Tri Puspohardini termuat dalam buku antologi geguritan Sundel Bolong Njero Senthong (2012), diterbitkan oleh Forum Sastra Surakarta.
Ucik menguraikan secara detail ungkapan dan tematik serta pesan dalam kedua puisi dan mengaitkan dengan wacana sosial tentang pelacuran atau pekerja seksual yang menjadi latar belakang puisi. Kajiannya dipayungi wacana seksualitas dan isu gender berkaitan dengan aspek ekonomi.
Di akhir presentasinya, Ucik menyimpulkan, puisi Jawa modern mengangkat isu seksualitas sebagai salah satu komoditas dengan alasan ekonomi. Itulah kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Menyikapi kondisi ini, tentu tidak bisa jika hanya membahasnya dari sudut pandang norma sosial semata, apalagi dari sudut pandang agama yang sudah jelas aturannya.
Simpulan lain, wacana pelacuran dalam teks guritan tersebut menjadi simbol perempuan pekerja seks lainnya yang terpaksa dan dipaksa bekerja sebagai pelacur atau pekerja seks
komersial. Lebih tepatnya dipaksa oleh keadaan terutama persoalan himpitan ekonomi
Drakor tapi Oscar
Dalam presentasinya, Evelyn Yang membahas film Korea “Parasite” pemenang Oscar, kemenangan pertama film yang bukan berbahasa Inggris. Kisah drama yang mengeksploitasi perbedaan kelas antara keluarga miskin dan keluarga kaya di Korea yang merupakan parodi atas citra indah jaya Korea sebagai negara maju.
Di Indonesia, terkenal istilah drakor alias drama Korea, dan ini adalah drama Korea (drakor) yang berkualitas Oscar, bukan seperti drakor yang melodramatis.
Mengapa Parasite? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Evelyn. Pertama, “Parasite” menjadi film Asia dan film berbahasa non-Inggris pertama yang memenangkan Oscar 2020.
Kedua, Parasite menggambarkan drama kehidupan masyarakat Korea Selatan dengan menampilkan kesenjangan sosial secara lugas, detail, objektif, sensitif, dan kritis
Melalui pembagian ruang dan wacana dari sudut pandang kajian budaya, film Parasite mempertanyakan ‘beautiful image’ yang dimiliki Korea.
Menurut Evelyn, film “Parasite” membawa penonton untuk mempertanyakan di mana posisi mereka sebenarnya dalam masyarakat. Dari sudut pandang kajian budaya, jawaban terhadap pertanyaan ‘siapa parasitnya?’ menjadi lebih luas dan variatif dan bersifat parodi.
Tanya Jawab
Presentasi dan substansi yang menarik dan kontroversial, membuat tanya jawab sangat dinamik. Ada banyak pertanyaan dari peserta yang disampaikan secara tertulis dan langsung angkat bicara.
Dosen FIB UNS, Prof. Bani Sudardi mempertanyakan gambaran dalam film Korea itu betul-betul ada, atau adakah sekedar film karena di Indonesia Korea Selatan dilihat sudah maju.
Evelyn menyampaikan kehidupan demikian merefleksikan kehidupan nyata. “Saya ketika mahasiswa, tinggal di kamar di bawah tanah,” kata Evelyn.
Pertanyaan serupa datang dari Susanto: Mengapa dalam film “Parasite”, kehidupan golongan atas digambarkan sebagai kehidupan yang harmonis, dan tidak tampak konflik antar golongan atas. kebalikannya, golongan bawah digambarkan penuh dengan kekejaman, bahkan berkonflik, salin bunuh dengan sesama golongan bawah? Apa makna yang tersirat dari absennya konflik antar golongan kaya?
Pertanyaan serupa juga disampaikan Diah Permana, yang menonton film “Parasite”, dan mempertanyakan mengapa kaum miskin tergerus konflik bahkan saling bunuh.
“Orang kaya memiliki kekayaan untuk meminta orang menyelesaikan konflik-nya, misalnya lewat lawyer atau pembantu. Orang miskin tidak, mereka menghadapi atau berkonflik sendiri,” ujar Evelyn.
Sebagai penutup, webinar narasi diisi dengan komentar dari Prof. AAN Anom Kumbara, M.A., mantan Koprodi S3 Kajian Budaya FIB Unud. Selain menyampaikan apresiasi atas kajian-kajian yang disampaikan pembicara, Prof. Anom juga memberikan beberapa masukan untuk mendorong penekun Cultural Studies untuk selalu memasukkan kajian hegemoni dan kuasa dalam analisis.
“Dalam konteks pelacuran, ada faktor hegemoni atau kuasa yang menyatakan bahwa perempuan selalu diberikan penilaian lebih negatif daripada laki-laki dalam konteks prostitusi,” ujar Prof. Anom (dap).
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA