Prodi Doktor Kajian Budaya Gelar 'Kuliah Khusus' tentang Memakai Foucault dalam 'Cultural Studies'

`

Prof. Dr. I Nyoman Wijaya (tengah)


Prodi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana melaksanakan ‘Kuliah Khusus’ mengenai aplikasi teori Michel Foucault dalam Kajian Budaya, dilaksanakan, Kami, 25 Mei 2023, di Gedung Priyono kampus. Acara kuliah khusus ini juga ditayangkan secara daring.

 

“Kuliah Khusus” disampaikan dosen Ilmu Sejarah/ Kajian Budaya FIB Unud Prof. Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum., dengan judul kuliah “Belajar Memakai Foucault dalam Cultural Studies: Bedah buku POWER/KNOWLEDGE Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 Michel Foucault”.



 

Acara yang diikuti sekitar 65 orang (daring dan luring) dan dipandu mahasiswa Anak Agung Dalem itu dibuka oleh Korprodi Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. 

 

Dalam sambutannya, Prof. Darma menyampaikan bahwa “Kuliah Khusus” ini dilaksanakan untuk memenuhi animo belajar mahasiswa untuk memenuhi rasa ingin tahu tentang teori-teori Foucault. “Waktu kuliah formal tidak cukup untuk memahami Foucault, maka melaksanakan Kuliah Khusus adalah salah satu solusi,” ujar Prof. Darma.

 

Dalam kesempatan itu, Prof. Darma juga menyampaikan luasnya pengaruh Foucault dalam kajian human science atau ilmu kemanusiaan dari filsafat sampai biologi, dari politik sampai seksualitas dan kegilaan.



 

“Teori Foucault memberikan bekal pembacanya untuk berfikir kritis untuk melihat bahwa pengetahuan yang ada disusun dengan penuh subjektivitas, kuasa, dan akhirnya bisa dipersoalkan,” ujar Darma.

 

Memakai Foucault


Dalam kuliahnya, Prof. Wijaya mengajukan dari mana sebaiknya memulai dalam menggunakan teori-teori Foucault dalam kajian budaya?

 

Untuk itu, Prof. Wijaya menyampaikan bahwa salah satu proposisi yang dapat dijadikan titik awal dalam menerapkan konsep-konsep Foucault dalam kajian budaya adalah dalil yang menegaskan bahwa “Manusia tidak digerakkan oleh nilai dan norma yang dianutnya, melainkan berkompromi dengan wacana yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kuasa berbicara.” 


Prof. I Nyoman Wijaya (tengah)

 

Dalam uraiannya, Prof. Wijaya banyak menekankan bahwa pengetahuan, keputusan, dan juga konstruksi kebudayaan banyak terjadi karena pengaruh kekuasaan. 

 

Menurut Wijaya, dalam setiap wacana terkandung pengetahuan yang dianggap sebagai kebenaran untuk dijadikan kekuasaan dalam pengertiannya sebagai strategi, teknik, taktik, dan manuver untuk mendisiplinkan tubuh-tubuh supaya patuh dan berguna pada kebenaran yang tersembunyi di dalamnya. 

 

“Tugas peneliti menelanjangi kebenaran dan efek-efeknya yang tersembunyi dalam setiap wacana sampai dia mempermalukan dirinya sendiri karena dominasi kekuasaan yang tersembunyi rapi di balik pengetahuan yang membentuknya terbongkar vulgar,” ujar Prof. Wijaya.


Moderator Anak Agung Dalem.

 

Relasi Kuasa Pengetahuan

 

Menurut Prof. Wijaya, sebagaimana Foucault mengkritisi Nietzsche, setidaknya melalui “latihan intelektual” ini bisa dikemukakan sebuah hambatan yang ditemui ketika proposisi dalam teori relasi kuasa-pengetahuan Foucault dijadikan sebagai landasan berpikir dalam penelitian cultural studies.



 

“Manusia tidak digerakkan oleh nilai dan norma yang dianutnya, melainkan berkompromi dengan wacana yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kuasa berbicara.”

 

Kritik Nietzsche terhadap agama Kristen yang disebutnya hanya menciptakan kebenarannya sendiri sangat kentara dalam proposisi tersebut. Karena itu, menurut Nietzsche, Tuhan [yang diciptakan] itu harus dibunuh demi menyelamatkan manusia. 

 

Akan tetapi Foucault, menurut Prof. Wijaya, melangkah lebih jauh, melampaui Nietzsche. Menurutnya, pada dasarnya manusia hanya berkompromi dengan wacana yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kuasa berbicara. Artinya, lebih mengikuti atau mengedepankan wacana mayoritas daripada suara hati nurani.

 

Dalma kontek sini, Prof. Wijaya memberikan ilustrasi tentang Wacana mayoritas di Bali, yaitu suriyak siyu [sorak seribu]. Seribu merupakan bilangan tak berhingga di zaman dulu, ketika Satu Rupiah setara dengan 100 Sen, 10 Ketip, 20 Kelip, 4 Tali (Talen). Berapa sen dibutuhkan untuk bisa mencapai bilangan rupiah? Tidak berhingga !!. Tusing ngidaan ngetek (tak bisa dihitung]. 

 

“Jadi betapa dahsyatnya kekuasaan yang tak berhingga itu, sehingga siapapun harus tunduk padanya,” ujar Prof. Wijaya.

 

Diskusi


Diskusi berjalan hangat ditandai pertanyaan dan jawaban yang dialogis dengan fokus banyak dilakukan dalam konteks ‘relasi-kuasa’.



 

Salah seorang peserta, Prof. Pageh dari Undiksha Singaraja menyampaikan bahwa sebagai sejarawan Foucault mengkonstruksi pengetahuannya dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti arkeologis dan psikologis. Namun, menurut Pageh, yang paling menonjol dari Foucault adalah kemampuannya untuk mendorong orang untuk berpikir membongkar pengaruh kekuasaan dalam mengkonstruksi pengetahuan. 

 

“Kalau ini dibongkar, barulah kita mendapat asal-usul bagaimana pengetahuan disusun dan seperti apa kelemahannya,” ujar Prof. Pageh, salah satu alumni Prodi Doktor Kajian Budaya yang hadir secara langsung dalam Kuliah Khusus di FIB Unud. 

 

Banyak pokok pikiran Foucault yang dibahas narasumber dan peserta. Pikiran-pikiran kritis Foucault seperti relasi kuasa, pengetahuan dan kekuasaan, dan analog-analog lainnya sangat esensial dalam cultural studies yang hadir dengan spirit kritis. Acara berlangsung lebih dari dua jam, lancar, dan produktif (dp)