Seminar Mahasiswa Kajian Budaya UNS Surakarta dan Unud Seri Ke-2 Bahas tentang Pernaskahan dan Darurat Sampah

`

Dekan FIB Unud Nyoman Aryawibawa, M.A, Ph.D. dan Dekan FIB UNS Prof. Dr. Warto, M.Hum.


Seminar nasional mahasiswa Kajian Budaya  (Narasi Budaya) FIB Unud dan FIB UNS Solo berlangsung untuk kedua kalinya mengambil topik tentang pernaskahan dan masalah darurat sampah.

Narasi Budaya ke-2 ini berlangsung secara daring Jumat, 19 April 2024, dibuka oleh dua dekan, yaitu Dekan FIB US Solo, Prof. Dr. Warto, M.Hum. dan Dekan FIB Unud I Nyoman Aryawibawa, M.A., Ph.D. Selain itu, hadir juga Ketua Asosiasi Kajian Budaya Indonesia (AKBI) Dr. Yuliawan Kasmahidayat, yang memberikan sambutannya.

Kedua dekan menyambut baik kerja sama kedua Prodi Kajian Budaya karena forum seminar antar-mahasiswa dapat meningkatkan iklim akademik di kalangan mahasiswa dan dosen.




“Topiknya tentang naskah kuno dan masalah sampah sangat aktual, perlu gagasan Kajian Budaya untuk memaknai naskah dan memecahkan masalah sampah yang berguna bagi masyarakat,” ujar Prof. Warto.

Sementara itu, Dekan FIB Unud menyarankan agar kerja sama akademik ini bisa diteruskan dan diperluas lewat kuliah tamu untuk peningkatan kualitas proses belajar-mengajar. Senada, dengan apa yang disampaikan Ketua AKBI Dr. Yuliawan Kasmahidayat, M.Si.

Narasi Budaya ke-2 diikuti hampir 85 peserta, menampilkan dua pembicara,keduanya mahasiswa S-3 Kajian Budaya. Pembicara pertama adalah Asep Yudha Wirajaya (Prodi S3 Kajian Budaya – Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret) dengan topik presentasi “Menyemarakkan “Jalan Sunyi”: Tatkala Manuskrip Kuna Berkelindan dalam Kajian Budaya”.

Pembicara kedua adalah Anak Agung Dalem (Mahasiswa Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana) dengan presentasi berjudul “Darurat Sampah Menjerat: Apa Daya Kearifan Budaya?”


Moderator Titah Resen.

Seminar dipandu apik oleh Titah Resen, mahasiswa S-3 Kajian Budaya FIB Unud.
 
Pemaknaan Baru Lebih Menarik

Dalam presentasinya, Asep Yudha Wirajaya menyampaikan kajian terhadap manuskrip kuna selama ini seakan menempuh “jalan sunyi” yang jauh dari hiruk-pikuk para akademisi, baik dalam bidang eksakta maupun sosial-humaniora.





Namun, kehadiran kajian budaya seakan membuka peluang baru bagi filolog untuk mengeksplorasi konteks sosial-budaya yang melingkupi keberadaan manuskrip kuna tersebut serta memberikan warna dan pemaknaan baru yang lebih menarik.

“Tentu saja, hal itu membutuhkan kerja-kerja cerdas terutama dalam pemerolehan data yang terkait dengan berbagai peristiwa yang melingkupi keberadaan manuskrip kuno tersebut,” ujar Asep Yudha.
 
Selain itu, menurut Asep Yudha, peluang tersebut juga membuka perspektif baru dalam hal metode penelitian karena menggabungkan antara metode penelitian filologi dan metode penelitian kajian budaya. Hasil kajiannya adalah menghadirkan sesuatu yang baru dalam kajian manuskrip yang sangat kental dengan aroma kajian budaya.
 
“Artinya, hal ini membuka ranah baru, baik bagi para peminat kajian budaya untuk melirik kembali manuskrip kuna maupun bagi para filolog agar kajiannya jauh lebih mendalam dan holistik,” ujar Asep Yudha.
 
Dalam presentasinya, Asep mempertunjukan bagaimana naskah kuno seperti Il Galigo bisa ditransformasi menjadi pertunjukan kontemporer yang padat nilai dan artistik dan sangat berkesan, sampai pentas ke Amerika.
 
Sangat Kompleks

Dalam presentasinya, Anak Agung Dalem menyampaikan, persoalan sampah kompleks dan berkelindan dengan masalah-masalah ekologis, memicu terjadinya perubahan iklim, emisi karbon, dan efek rumah kaca, berpotensi menjadi penyebab terjadinya bencana alam paling mengerikan bagi milyaran penduduk dunia.


Perlawanan masyarakat atas masalah sampah.

“Indonesia sedang mengalami persoalan sampah dan ancaman lingkungan yang tidak kalah serius dengan negara-negara lain,” ujar Anak Agung Dalem.

Menurutnya, walaupun sudah hampir dua dasawarsa UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berlaku, namun hingga kini belum menunjukkan hasil yang signifikan, bahkan kemudian menjadi semakin kompleks dan rumit. Tahun 2023 akhir, ketika terjadi anomali cuaca dengan peningkatan suhu udara ekstrem, 35 TPA di Indonesia termasuk TPA Sarbagita Suwung di Denpasar mengalami kebakaran.




“Sampah terserak tidak terkendali, darurat sampah menjerat,” ujarnya.

Seakan ingin mengadukan permasalahan pada pendahulu kita (leluhur) yang terbukti sudah menerapkan berbagai kearifan budaya (termasuk kearifan budaya pengelolaan sampah), pemimpin formal memutar balik sikapnya dengan menyerahkan kembali pengelolaan sampah kepada warga desa (krama adat dan desa adat), sebagaimana Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.

Namun, ‘anarki persampahan’ tidak cukup memberikan ruang pada kearifan budaya untuk melakukan penyelamatan. ‘Korosi sosial’ dan ‘unconformity kepentingan’ telah menyebabkan degradasi nilai kearifan budaya, bahkan kemudian memunculkan berbagai resistensi termasuk perlawanan tanpa bentuk terhadap kebijakan yang mengkapitalisasi kearifan budaya. Darurat sampah semakin gawat dan kronis.

Dalam diskusi, banyak peserta mengajukan pertanyaan, seperti dari Dr. Maria Matildis Banda yang mengajukan beberapa pertanyaan, termasuk apakah ada teknik pengelolaan sampah dalam naskah kuno.

Peserta Mehamat Karo dari Museum Provinsi Sumatera Utara menyampaikan bahwa mereka  memiliki naskah hampir 250 buah, ada naskah Melayu dan Batak. “Ketika meneliti naskah Batak, banyak kata-kata yang tidak ditemukan dalam kamus Batak, jadi agak sulit memahami,” ujar Mehamat.

Penanya Dr. Made Suastika juga menyarankan agar penelitian Kajian Budaya bisa memberikan solusi nyata atas masalah sampah. “Di Bali, banyak daur ulang untuk kerajinan,” ujar Suastika.

Kedalaman Pembahasan
Dalam kata penutupnya, Koprodi S3 Kajian Budaya UNS Surakarta, Habsari, PhD., menyampaikan pujian atas topik dan kedalaman bahasan kedua narasumber.

“Ilmu Kajian Budaya yang diibaratkan masih bayi, ternyata bisa memberikan pengayaan penafsiran atas berbagai bidang, seperti manuskrip, sampah, juga minuman keras dan komik yang dibahas pada seminar seri ke-1,” ujar Habsari.

Hal senada juga disampaikan oleh Koprodi S3 Kajian Budaya FIB Unud, Prof. I Nyoman Darma Putra, yang menilai diskusi membuka wawasan bagi peserta untuk analisis Kajian Budaya.

“Selain itu, diskusi bersama ini juga membuka peluang bagi mahasiswa dan dosen untuk membangun jaringan akademik untuk mungkin kelak riset bersama,” ujar Prof. Darma  (dp)