Praktik Pialang di Mata Cultural Studies

`

 
 Lukisan I Wayan (Donal) Januariawan
 

Oleh Aba Du Wahid
Mahasiswa Program doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali (Profil Penulis)

Note: Sesuai dengan titimangsa di akhir, artikel ini dibuat tahun 2010. Dimuat di sini karena masih relevan untuk melihat bagaimana praktik ekonomi keuangan sarat dengan kuasa, dominasi, serta hegemoni yang senantiasa menarik ditinjau secara kritis dari kajian budaya. Selamat membaca (Admin).


Disertasi Ni Wayan Widhiasthini “Hegemoni Pialang terhadap Investor dalam Investasi Saham Bursa Efek Indonesia di Kota Denpasar” yang dipertahankan dalam sidang promosi doktor Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, Senin, 1-11-2010, menggambarkan posisi pialang sebagai pihak yang selalu menerapkan praktik-praktik dominasi dalam lapangan bisnis investasi modal di pasar keuangan.


Sebagai perantara antara investor dan perusahaan sekuritas, pialang lebih berkepentingan atas terjadinya transaksi karena dengan transaksi itu pialang mendapatkan komisi atau fee, dengan mengorbankan kepentingan investor.


Atas motif material ini seorang pialang harus menyingkirkan nilai-nilai etika bisnis dengan mempraktikkan trik-trik manipulasi informasi ketika menghadapi kliennya.


Menurut studi ini, praktik tersebut mirip seperti yang dilakukan oleh media massa terhadap audiens (masyarakat). Media selalu berfungsi sebagai saluran bagi kepentingan-kepentingan tertentu dalam menstimulasi kognisi audiens sehingga melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu.


Untuk memainkan fungsi “setting” itu, media kerap bermain-main dengan informasi atau fakta, dengan mengemas, memodifikasi, bahkan memanipulasi sedemikian rupa sehingga mampu men-fait a compli tindakan sosial-budaya. Fakta-fakta yang terkemas melalui berita atau iklan adalah busa mulut penjual obat.


Kira-kira asumsinya, pialang akan melakukan apa saja supaya transaksi modal tetap berlangsung. Semacam praktik machiavellian dalam dunia bisnis.


Di samping ada fakta manipulasi yang merepresentasikan dominasi satu pihak terhadap pihak lain, di sisi lain terdapat fakta berupa dehumanisasi yang dialami pialang. Pialang seringkali mengalami kondisi keterekekangan, kebebasannya tergadaikan, teralienasi, emosinya terkontrol, jiwanya ditaklukkan, serta mengalami keterbatasan dalam melaksanakan hal-hal yang bersifat manusiawi.


Pialang juga harus menghadapi ketergencetan struktural dari atas (perusahaan sekuritas) dan dari bawah (investor yang diwakilinya) – keduanya merupakan representasi kapitalisme. Pialang juga mengalami problem kultural dengan berperan sebagai agen budaya baru, melakukan pencitraan diri dalam bentuk gaya hidup, mengkonstruksi kelas-kelas sosial-budaya tertentu.


Untuk merawat trust, pialang harus hadir penampilan diri yang khas, misalnya dengan menggunakan produk-produk branded, perilaku profesional yang tertata, serta ekspresi simbolik lainnya. Ini melahirkan citra dan identitas budaya tertentu dalam jagat pertarungan hidup-mati sosial-budaya.        
 
Ke-pialang-an sebagai Medan Budaya
 
Dalam nalar cultural studies, praktik-praktik sosial-budaya yang direpresentasikan oleh kepialangan harus dilihat sebagai sebuah medan pergulatan. Bisa pergulatan manusia dengan manusia lain atau pergulatan manusia dengan sistem kehidupan yang melibasnya. Dengan demikian, apa yang dalam studi di atas dikatakan sebagai hegemoni, harus dijelaskan strukturnya, siapa yang menghegemoni siapa dengan apa sehingga berakibat suatu apa, dan seterusnya.

Jika mengikuti Gramsci, hegemoni adalah konsensus sosial yang mengikat melalui produksi dan reproduksi makna/nilai, negosiasi, trust, dan pertautan ide betapapun hasil dari kesepakatan itu mewujud dalam struktur yang menindas, diskriminatif, dan meminggirkan.


Hegemoni, meminjam Haryatmoko (2010), adalah dominasi penuh muslihat. Dilihat dari segi ini, memang dapat dikatakan bahwa praktik memanipulasi, menyembunyikan, memodifikasi, dan kamuflase sejumlah pengetahuan, informasi, atau data seperti dimungkinkan terjadi dalam perilaku pialang dalam konteks hubungan bisnis dengan investor, adalah bentuk hegemoni.


Tetapi, jika praktik-praktik itu dimasukkan dalam konteks struktur, katakanlah struktur ekonomi kapitalistik, maka itu merupakan konsekuensi ketidakberdayaan manusia (agen) di hadapan struktur.


Di dalam struktur-struktur makro seperti kapitalisme, manusia adalah subsistem yang harus bersedia melakukan tindakan-tindakan mikro-obyektif (Ritzer, 2009) yang juga kapitalistik, seperti mengeruk keuntungan materialistik yang banyak dari akumulasi modal termasuk modal pengetahuan, kompetensi, juga budaya (gaya berpakaian dan penampilan). Jika tindakan mikro-obyektif itu dimaknai sebagai repsentasi ketidakberdayaan maka yang menindas melalui hegemoni itu adalah struktur pasar modal yang kapitalistik.


Pialang adalah tameng sekaligus tumbal bagi bagi lestarinya dominasi sistem pengerukan modal masyarakat oleh the invisible hand yang bernama liberalisme pasar.


Dalam pertarungan selalu ada kekalahan, peminggiran, dan peniadaan. Atau selalu saja ada gorong-gorong kultural yang bisa ditempuh untuk dapat bertahan hidup. Dehumanisasi, terabaikannya konsep dosa, peminggiran religiusitas adalah wujud kekalahan manusia dalam pertarungan itu.


Demikian juga gaya hidup, branding dan pencitraan budaya yang dilakukan pialang adalah, bisa dilihat sebagai modus dunia pialang untuk survive dalam industri-pasar kapilistik itu.    


Mempraktikkan hubungan patron-klien yang terkadang mengenyampingkan dimensi etis dalam dunia pialang jangan-jangan akhirnya harus dibaca sebagai modus perlawanan simbolik atas kekeraan sistemik yang juga simbolik. Bisa saja muncul formulasi ide dalam dunia pialang, misalnya: “saya adalah sekrup dalam mesin pasar kapitalisme ini, perusahan sekuritas untung, investor untung, lalu saya dapat apa dari keuntungan berlimpah-limpah itu?


Dari ide seperti ini akan menggelinding praktik penindasan struktutal ke bawah, atau dalam istilah Ni Wayan Widhiasthini (2010) “hegemoni bertahap,” atau daur ulang hegemoni, atau hegemoni mikro. Orang bilang, “kalau orang digencet dari atas, jika tidak melawan maka menggencet ke bawah.” 


Untuk menghentikan gelindingan hegemoni itu, dalam rekomendasi cultural studies, diperlukan pembongkaran, misalnya dengan kritik ideologi. Sasaran tembakannya tidak pada aktor, agen, atau media, melainkan pada struktur ide yang melandasi praktik itu.


Tugas kritik ideologi-lah yang mengeluarkan pialang dari perangkap daur ulang hegemoni, dan membebaskan investor dari apa yang disebut Habermas sebagai perangkap rasionalitas instrumental, suatu pola pengetahuan yang yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (ya jasa pialang itu).


Jadi, pialang juga adalah korban hegemoni, dan layak dipihaki. Begitulah kira-kira.
 
Sesetan, 1/11/2010